Purwakarta, KPonline – Diantara deru mesin pabrik, tumpukan pekerjaan kantor, dan denyut kehidupan kelas pekerja perkotaan, ada satu nama yang tak tergantikan sebagai penyelamat perut yaitu “Warteg” yang merupakan singkatan dari Warung Tegal, warung makan sederhana ini bukan sekadar tempat makan, tapi simbol perjuangan, kebersamaan, dan keberlanjutan ekonomi rakyat kecil.
Warteg bukanlah warung makan biasa. Ia lahir dari rahim perjuangan rakyat Tegal, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, migrasi ekonomi besar-besaran dari Tegal ke Jakarta dan kota-kota besar lain melahirkan komunitas pedagang makanan khas yang dikenal dengan orang Tegal. Mereka membuka warung makan murah meriah, dengan menu rumahan yang cocok untuk lidah pekerja.
“Awalnya saya cuma bantu kakak saya jualan nasi di lapak pinggir jalan Jakarta Timur tahun 1983. Lama-lama bikin sendiri, buka warteg. Alhamdulillah bisa nyekolahin anak sampai kuliah,” kenang Bu Sumiati, mantan pengelola warteg di kawasan Pulogadung.
Keberhasilan para perantau Tegal ini bukan semata karena harga makanan yang murah, tapi juga karena pendekatan personal, pelayanan kekeluargaan, dan ketahanan menghadapi kerasnya kota.
Bagi buruh pabrik, tukang ojek, pekerja proyek, maupun staf kantor dengan gaji pas-pasan, warteg menjadi tempat paling logis untuk bertahan. Sepiring nasi, sepotong tempe, sayur asem, dan segelas teh hangat bisa ditebus dengan uang recehan, tanpa mengorbankan rasa.
“Kalau ke warteg, saya bisa makan kenyang dengan uang Rp15 ribu. Itu udah sama es teh,” kata Ridwan, seorang pekerja gudang di Cakung. “Dan yang paling penting, bisa ngutang,” tambahnya sambil tertawa.
Fleksibilitas inilah yang membuat warteg menjadi primadona kelas pekerja. Tak hanya makanan, warteg juga jadi tempat ngobrol, diskusi, hingga obrolan politik dan organisasi buruh.
Pada era 90-an hingga awal 2000-an, kejayaan warteg begitu mencolok. Hampir di setiap sudut kota Jakarta dan kota industri lainnya, warteg tumbuh menjamur. Dalam laporan Dinas UMKM Jakarta tahun 2004, tercatat lebih dari 20.000 warteg aktif beroperasi di Jabodetabek. Mereka bukan hanya memenuhi kebutuhan makan, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan warga perantauan.
Pemerintah bahkan sempat menjadikan komunitas warteg sebagai contoh sukses pengembangan ekonomi mikro berbasis komunitas. Beberapa pemilik warteg sukses naik kelas dan mendirikan koperasi, membeli rumah di Jakarta, hingga mengembangkan jaringan warung ke luar kota.
Namun, memasuki dekade 2010-an, tantangan mulai datang. Munculnya warung makan modern, layanan pesan antar daring, hingga gentrifikasi kota memaksa warteg bertransformasi. Beberapa warteg bahkan mulai “naik level” dengan konsep Warteg Kekinian, ber-AC, dinding bersih, dan pembayaran digital.
“Mau nggak mau kami harus ikut zaman. Anak-anak muda sekarang kalau tempatnya gak instagramable, malas makan disitu,” kata Heri, pemilik Warteg Modern “Sambel Bujangan” di Depok.
Meski begitu, ruh dari warteg tetap sama yaitu makanan rumahan dengan harga rakyat. Bahkan beberapa startup seperti Warteg Gratis dan Warteg Pintar mulai mengembangkan konsep kemitraan digital untuk para pemilik warteg agar tetap bertahan di era teknologi.
Dan dibalik semua itu, warteg menyimpan makna yang lebih dalam yakni simbol keberpihakan terhadap kelas pekerja. Ia adalah representasi nyata bahwa pangan bisa dijaga kedaulatannya oleh rakyat, bahwa ekonomi mikro bisa menopang kehidupan urban.
“Warteg itu bukan cuma tempat makan, tapi ruang kultural pekerja urban. Sama seperti kedai kopi bagi kalangan menengah, atau co-working space bagi pebisnis,” ungkap Siti Rohmah, peneliti sosial perkotaan dari Universitas Indonesia.
Tak heran, warteg acapkali muncul dalam karya sastra, lagu, hingga film sebagai representasi rakyat kecil yang bersahaja namun tangguh. Bahkan beberapa aktivis buruh menjadikan warteg sebagai tempat konsolidasi sebelum dan sesudah aksi unjuk rasa.
Meski waktu terus bergerak, warteg tetap memiliki tempat di hati rakyat. Di tengah krisis, pandemi, inflasi, dan kenaikan harga bahan pokok, warteg tetap buka. Tetap melayani. Tetap memberi makan mereka yang bekerja dari pagi hingga malam.
“Selama orang masih kerja dan lapar, warteg nggak akan mati,” ujar Pak Iwan, pemilik warteg di kawasan Tanah Abang.
Kini, upaya pengorganisasian pemilik warteg melalui paguyuban, koperasi, hingga kolaborasi dengan platform digital membuka harapan baru. Warteg bukan sekadar bertahan, tapi juga tumbuh dan berdaulat.
Dari nasi dan sayur di piring enamel, dari senyum ibu warteg yang hafal pesanan pelanggannya, dari utang makan yang ditulis di buku kecil, hingga obrolan antar buruh saat rehat, warteg adalah potret keintiman rakyat dengan kehidupannya.
“Mengenal kejayaan warteg adalah mengenal sejarah perjuangan rakyat. Ia bukan sekadar tempat makan, tapi rumah kedua bagi mereka yang membangun kota dengan peluh dan tenaga”
Dan selama rakyat kecil masih jadi tulang punggung bangsa, warteg akan tetap menjadi singgasana mereka, hangat, merakyat, dan selalu ada.