UMP 2025: Angka Naik, Kesejahteraan Buruh Tetap Angan

UMP 2025: Angka Naik, Kesejahteraan Buruh Tetap Angan

Jakarta,KPonline – Pemerintah mulai membahas kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk 2025. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menjelaskan bahwa pembahasan ini akan dilakukan secara menyeluruh agar tidak menimbulkan konflik antara pekerja dan pengusaha.

“Kita memahami sudah ada aturan terkait UMP, tapi kita juga harus melihat kebutuhan pekerja. Oleh karena itu, kita akan mencari solusi terbaik,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Susiwijono menambahkan bahwa kenaikan UMP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, namun pemerintah masih mengevaluasi apakah rumus tersebut sudah mencerminkan kebutuhan pekerja. “Pemerintah ingin memastikan pekerja menengah tetap memiliki daya beli yang kuat, karena konsumsi mereka berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi kita,” jelasnya.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, sebelumnya menyatakan bahwa hingga kini belum ada perubahan dalam formula pengupahan. “Saat ini, kita masih menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023,” katanya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI.

Sementara KSPI dan Partai Buruh meminta kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan UMP sebesar 8-10 persen pada 2025. Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebutkan bahwa angka ini diusulkan karena inflasi dalam dua tahun terakhir berkisar 2,5 persen, sementara pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen, yang jika digabungkan menghasilkan kenaikan sekitar 8 persen hingga 10 persen. “KSPI juga mengusulkan tambahan 2 persen untuk daerah dengan disparitas upah tinggi, agar kesenjangan upah berkurang,” jelasnya.

Iqbal menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir, terutama di tahun pertama, upah minimum tidak mengalami kenaikan signifikan, yang berdampak pada daya beli buruh. “Di wilayah Jabodetabek, misalnya, inflasi mencapai 2,8 persen, tapi kenaikan upah hanya 1,58 persen, sehingga buruh harus menutupi kekurangan tersebut,” ungkapnya.

Selama sepuluh tahun terakhir, menurut Iqbal, upah riil buruh menurun sekitar 30 persen karena kenaikan harga barang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah nominal. “Ini yang membuat beban buruh semakin berat,” tambahnya.

Iqbal juga menegaskan bahwa KSPI dan Partai Buruh menolak PP Nomor 51 Tahun 2023, yang merupakan turunan dari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang kini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak menggunakan aturan ini dalam perhitungan upah minimum tahun 2025.

Meskipun ada usulan kenaikan upah hingga 10 persen, Iqbal memperingatkan bahwa daya beli buruh hanya akan meningkat sekitar 5 persen, sementara dalam sepuluh tahun terakhir daya beli mereka turun 30 persen. “Jadi, meskipun ada kenaikan, buruh masih akan merasakan dampak negatif karena harga-harga yang terus naik,” tutupnya. (Ete)

Pos terkait