Tersingkir di Negeri Sendiri, Menjadi Bulan-bulanan di Negeri Orang

Batam, KPonline – Kota Batam masih menjadi surga bagi calon TKI illegal untuk menyeberang ke Malaysia. Selasa malam (2/8/2016), misalnya, Satuan Reskrim Polresta Barelang menggerebek sebuah ruko penampungan TKI illegal di Ruko Taman Lakota, Batam Center. Di penampungan tersebut ditemukan ratusan calon TKI illegal dalam kondisi memprihatinkan. Berminggu-minggu mereka disekap dalam ruangan sempit dan pengap. Berdesakan.

Berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, menjadikan Batam sebagai gerbang keberangkatan TKI ke dua negara itu. Mereka berangkat dan pulang melalui pelabuhan tikus yang banyak di temukan di berbagai kawasan pesisir pantai di kota Batam. Jika pun ada yang berangkat melalui pelabuhan resmi, hampir sebagian besar dari mereka berangkat dengan menggunakan paspor kunjungan atau paspor turis. Namanya juga TKI illegal.

Para TKI ini umumnya berasal dari Lombok, Madura, serta beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu dari TKI menceritakan bahwa untuk bisa berangkat ke Malaysia, dia harus hutang sana-sini. Bahkan menjual binatang ternak dan menggadaikan sepeda motor. Jika ditanya alasannya. Rata-rata mereka akan menjawab, susahnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman. Di Malaysia pekerjaan yang mereka incar pun hanya sebatas buruh bangunan. Pekerjaan kasar.

Sesampainya di Malaysia, seringkali bukannya kesenangan yang mereka dapatkan. Berbagai persoalan harus mereka hadapi. Tentu kita sudah sangat familiar dengan isu kekerasan dari majikan. Gaji yang tidak dibayar, penangkapan oleh pihak berwenang setempat, penipuan oleh oknum tidak bertanggung jawab, dan masih banyak lagi. Meski berbagai persoalan siap menanti mereka, tidak sedikit dari para TKI ini yang membawa serta keluarga serta anak-anaknya  untuk berpindah ke negera tempat mereka bekerja.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah TKI ilegal yang bekerja di Malaysia, namun diperkirakan jumlahnya mencapai jutaan orang dan diperkirakan ratusan ribu anak-anak dari para pekerja tersebut berada di Malaysia tanpa dokumen yang lengkap. Jumlah tersebut terdiri dari anak-anak TKI yang ikut dibawa dari Indonesia dan juga yang lahir di Malaysia.

Tanpa dokumen yang jelas anak-anak dari TKI ilegal tersebut tentunya tidak mendapatkan akses kepada pendidikan dan juga kesehatan yang layak. Sangat memprihatinkan. Perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut, karena tidak mungkin mengharapkan pemerintah Malaysia untuk menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan khusus kepada anak-anak tersebut. Sesuatu harus dilakukan. Pemerintah harus turun tangan.

Jangankan yang illegal. Bahkan yang berangkat secara legal pun seringkali masih tersandung berbagai persoalan.

Di negaranya sendiri, Indonesia, proses birokrasi pengurusan izin bekerja ke luar negeri masih menjadi biaya tinggi. Para calon TKI juga harus menanggung biaya besar, pungli maupun pemotongan gaji. Akibatnya, tidak sedikit TKI nekat bekerja tanpa dokumen. Jadi, lengkap sudah penderitaan para pahlawan devisa ini.

Sementara, di dalam negeri, permasalahan hubungan industrial tak kalah peliknya. Masih kita dengar adanya PHK sepihak yang dilakukan pengusaha. Belum lagi status hubungan kerja yang tidak memberikan kepastian, misalnya karyawan kontrak dan outsourcing yang diberlakukan menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.

Kemudian, yang lebih menyakitkan, Pemerintah membuka akses bebas atas kedatangan tenaga kerja asing untuk pekerjaan yang bisa di lakukan oleh masyarakat. Seperti yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, terkait dengan banyaknya tenaga kerja asal China yang membanjiri Indonesia. Beginilah nasib tenaga kerja kita. Sudahlah tersingkir di negeri sendiri, menjadi bulan-bulanan di negeri orang. (*)