Subsidi Gaji

Jakarta, KPonline – Pemerintah akan memberikan subsidi gaji kepada buruh yang upahnya di bawah 5 juta.

Saya termasuk yang mengapresiasi rencana ini. Setiap bentuk subsidi untuk rakyat merupakan sebentuk kebaikan. Sesuatu yang selama ini kita perjuangkan.

Bahkan ketika pandemi terjadi dan buruh mulai dirumahkan dengan tidak mendapatkan upah penuh, serikat buruh menyerukan agar perintah untuk segera memberikan subsidi gaji.

Saya menulis di Koran Perdjoeangan. Bahwa apa yang dilakukan oleh beberapa negara Eropa yang memberikan subsidi upah bagi buruh, bisa dijadikan rujukan oleh pemerintah.

Ketika kemudian subsidi gaji diluncurkan, banyak komentar yang bermunculan.

Jika merujuk pada ketentuan, bahwa upah di bawah 5 juta yang akan menerima subsidi, maka bisa ditafsirkan pekerja di atas 5 juta berada dalam kategori mampu. Sehingga tidak perlu lagi dilakukan subsidi.

Padahal faktanya, upah minimum di Indonesia di bawah 5 juta. Tertinggi adalah di Karawang, kira-kira sebesar 4,5 juta. Bahkan masih banyak daerah dengan UMK di bawah 2 juta.

Dengan demikian, mustinya pemerintah juga konsisten dalam menentukan batasan minimal agar sekurang-kurangnya para pekerja bisa mendapatkan upah sebesar 5 juta. Bukannya terus menekan kenaikan upah, baik dengan PP 78/2015 maupun aturan baru dalam omnibus law.

Itulah sebabnya, di saat yang sama, kita meminta agar omnibus law dibatalkan. Ini sejalan dengan jalan pikiran pemerintah tentang pentingnya instrumen upah dalam meningkatkan daya beli.

Jika omnibus law dilanjutkan, UMK dan UMSK dihilangkan serta diberlakukan upah padat karya; upah buruh akan anjlok. Daya beli pun akan melorot.

Atas dasar inilah, saya tidak percaya jika “sogokan” itu akan melemahkan perjuangan melawan omnibus law.

Hal lain yang kita sayangkan, pemenerima subsidi gaji adalah peserta BPJS Ketenagakerjaan. Kita menolak ketentuan nyleneh seperti ini.

Kewajiban untuk mendaftarkan buruh di dalam BPJS melekat pada perusahaan. Kalau ada buruh tidak diikutkan dalam BPJS Ketenagakerjaan, itu kesalahan perusahaan. Bukan salahnya buruh.

Dengan kata lain, sangat tidak adil jika untuk sesuatu yang bukan kesalahannya, buruh juga harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan subsidi.

Harusnya pengusaha nakal yang tidak mendaftarkan buruh ke dalam BPJS Ketenagakerjaan diberi sanksi. Bukan buruhnya yang justru tidak mendapatkan subsidi.

Hal-hal seperti inilah yang perlu dikritisi.

Belum lagi soal kecemburuan sosial yang akan muncul.

Mengapa si A dapat, sedangkan si B dapat. Karena dengan asumsi pekerja formal mencapai 50 juta, bantuan itu hanya akan digelontorkan kepada 15,7-an juta pekerja. Artinya, ada 30 juta lebih yang tidak mendapatkannya.

Belum lagi soal kecemburuan, mengapa tang masih bekerja yang mendapatkan? Bagaimana dengan pengangguran?

Pengalihan Isu Omnibus Law

Sebagian kawan berpendapat demikian. Tentu saya tidak hendak mendebat pendapat itu.

Alih-alih sebagai kecurigaan, saya justru melihat ini sebagai satu peringatan. Agar gerakan buruh jangan sampai lengah dari apa yang saat ini tengah diperjuangkan.

Apapun, memang, bisa mengalihkan perhatian kita dari omnibus law. Termasuk melemahnya daya beli. Boro-boro ikut demo, mikirin di rumah sudah tidak ada beras saja sudah menguras pikiran.

Itulah sebabnya, KSPI menyandingkan perjuangan menolak omninus law dengan perjuangan tolak PHK. Sekali lagi, langkah ini harus dibaca untuk memperkuat perlawanan terhadap omnibus law.