Semacam Tanggapan Untuk Handoko Wibowo

Bung Handoko…,

Barangkali saya tak perlu menanggapi nasehat sampeyan. Tetapi karena sampeyan menyebutkan, “kawan-kawan saya buruh fspmi” (bahkan menyebut kata fspmi hingga 3 kali) di awal status yang sampeyan tulis pagi ini, saya merasa ini memang ditujukan untuk buruh FSPMI.

Tenang saja, bung. Saya tidak akan menganggap sampeyan mencampuri urusan FSPMI. Tulisan ini sekedar untuk menyampaikan perspektif saya sebagai buruh fspmi, agar apa yang terbaca bukan hanya perspektif sampeyan.

Saya senang ketika sampeyan tidak anti partai baru dan tidak cinta partai lama. Dalam titik ini, pemikiran kita sama. Tetapi ada satu hal yang perlu digarisbawahi, bung Han. Ini bukan sekedar partai baru, seperti halnya beberapa partai lain yang tengah dipersiapkan oleh para cukong. Ini adalah rangkaian panjang, sejak 2015 – bahkan jauh sebelum itu – ketika GBI menyatakan sikap politiknya.

Harapan ada partai kerakyatan yang akan jadi alternatif adalah dambaan mayoritas orang pergerakan, bukan? Tetapi berharap saja tidak cukup, bung. Harus ada upaya nyata untuk mewujudkannya.

Upaya ini pernah dicoba berkali-kali. Kami, generasi yang sekarang, sedang mencobanya kembali.

Jika sampeyan mengatakan tidak dalam waktu sekarang, lalu kapan waktu yang tepat itu? Apakah waktu yang kalian anggap tepat itu dulu, ketika gerakan buruh sampeyan anggap sedang kuat? Apakah sampeyan ingin bilang momentumnya saat ini sudah lewat, yang sampeyan pernah bilang mungkin ketika saat itu tiba sampeyan sudah tidak ada lagi dunia, dan biarkan kerja-kerja ini dilakukan generasi yang akan lahir esok hari? Saya sih ogah, bung Han.

Hajat untuk merebut jabatan Bupati Bekasi secara independen, tidak semestinya menutup kerja-kerja politik yang lain, semisal menggagas pendirian partai? Saya justru berpendapat, ini adalah kerja politik yang saling menguatkan.

Ketika memutuskan independen, pada saat itu kami percaya pada kekuatan rakyat. Tidak percaya pada partai yang saat ini ada. Kami tidak anti partai, karena itulah rakyat harus membuat partainya sendiri.

Bung Han musti tahu, hajat untuk merebut bupati Bekasi dari independen adalah keputusan resmi FSPMI. Jadi ini keputusan organisasi, bukan keinginan orang per orang. Bukan juga karena nasehat sampeyan. PUK-PUK di Bekasi, PC, KC, hingga DPP urunan tiap bulan untuk support dana OTC. Salah satu PUK besar, bahkan sumbang hingga ratusan juta. Kader-kader FSPMI di Bekasi ikut ngerap KTP. Setiap Musnik, Rakernik, rapat, bahkan konsolidasi organisasi, diarahkan untuk memperkuat kerja-kerja OTC. Oh ya, perayaan may day di GBK juga dilakukan dengan penjualan tiket. Sisanya, dana yang terkumpul, akan diserahkan untuk kegiatan OTC.

Meskipun saat ini sebagian dari kami disibukkan dengan OTC, bukan berarti tidak ada advokasi untuk korban PHK. Meskipun ngerap KTP, perundingan PKB tetap jalan. Perjuangan upah dan jaminan sosial tetap dilakukan. Diskusi dan konsolidasi tidak berhenti. Mengapa? Karena kami adalah organisasi. Manusia-manusia yang terorganisir. Bukan sekumpulan bebek yang ketiga digiring ke kanan, semuanya akan bergerak ke kanan.

Oh ya, kita sudah bicara terlalu panjang soal partai. Sebelum lebih panjang, saya ingin sampaikan, may day tahun ini kami tidak mendeklarasikan partai. Deklarasi yang akan kami lakukan adalah deklarasi Ormas. Beda dong ormas dan partai. Ini penting, agar jangan salah paham.

Ormas yang akan kami lahirkan ini akan menjadi kekuatan penekan untuk isu-isu kerakyatan. Saya kasih tahu sampeyan, gagasan ini bukan semata-mata milik FSPMI.

Sekali lagi, kerja-kerja ini bukan hanya dilakukan FSPMI.

Kami tergabung dalam GBI ketika bicara tentang ke-Indonesiaan. Dan bukan GBI, diluar kelompok buruh, ada juga element organisasi petani, nelayan, mahasiswa, perempuan, yang bergabung. Jadi kalau sampeyan hanya melihat FSPMI, sama saja sampeyan menghilangkan peran element yang lain. Jangan hanya karena yang lain minoritas kemudian perannya dihilangkan. Jangan karena yang lain kecil kemudian keberadaannya ditiadakan. Kita mengutuk keras perilaku seperti ini, bukan?

Tentu saja, saran sampeyan benar. Referéndum atau jajak pendapat akan dilakukan ketika nantinya ormas ini akan menjadi partai politik. Itu sudah ada dalam cetak biru yang kami buat. Saat ini, Sekjend KSPI Muhammad Rusdi bahkan sedang berada di Maluku dan kemudian ke Papua untuk mendiskusikan persiapan deklarasi Ormas. Sama dengan apa yang disampaikan di 30 provinsi yang lain, kami menyampaikan route yang sama: Ormas – Jajak Pendapat – Partai.

Kalau kemudian dalam jajak pendapat menyatakan belum saatnya partai, tentu saja, kami tidak akan memaksakan kehendak. Biarkan ormas ini akan tetap menjadi ormas, semacam blok politik yang akan konsens pada isu-isu kerakyatan. Tetapi cita-cita agar rakyat memiliki alat politiknya sendiri, tidak akan mati.

Soal partai, bukan serikat buruh yang akan mendirikannya. Kami di GBI sudah sepakat dengan itu. Ormas inilah yang nantinya akan mendirikannya. Serikat buruh tetap pada posisi yang semula, independent, guna memperjuangkan kesejahteraan anggota dan kaum pekerja.

Saya tahu, sampeyan sering ingatkan buruh jangan ada deal dengan pihak lain. May day jangan ada deal. Tolak reklamasi dan penggusuran, jangan ada deal. Meskipun saya tidak yakin sampeyan tidak ada deal ketika dukung Bupati Batang dan mengarahkan maju lewat partai orang — bukan independent. Tentu sampeyan akan bilang begini, deal politik tidak apa-apa asal untuk kepentingan rakyat. Begitulah, saya tidak perlu menjelaskannya lagi…

Tetapi, satu hal, may day kali ini GBI tidak ada deal apapun. GBI bersepakat, tidak akan memberikan “panggung” pada elit partai poiltik, termasuk ketika berada di dalam GBK. Kami ingin membangun alat politik sendiri, karena itu panggung ini akan menjadi panggung rakyat.

Route ini, di FSPMI sudah diputuskan dalam Kongres awal bulan Februari 2016 lalu. KSPI sudah memutuskan dalam Rakernas, awal Maret 2016. Kongres KSPI awal tahun depan, 2017, akan menegaskan soal alat politik itu. Tidak ada perdebatan berarti soal alat politik dalam kongres FSPMI. Kami hanya berdebat kencang soal perubahan distribusi iuran.

Tentu saja, kami berterima kasih diingatkan terkait pentingnya evaluasi dan refleksi. Mari kita sama-sama melakukannya. Jika kemudiaan keluaran dari evaluasi berbeda dari bacaan sampeyan, jangan dipaksakan. Biarkan praktek yang akan membutikan. Jika kemudian kekuatan politik alternatif yang sampeyan bangun behasil (kalau memang sampeyan bekerja membangun kekuatan itu), saya rasa kawan-kawan GBI akan dengan senang hati ikut sampeyan.

Saya sudah 4 kali ke Omah Tani. Pertamakali dengan Perkumpulan Demos, tahun 2010. Jauh sebelum kawan-kawan buruh berdatangan ke Omah Tani.

Semoga sampeyan ingat, saat itu kita bersama-sama berusaha membangun apa yang disebut Blok Politik Demokratik (BPD). Sampeyan cerita panjang soal sejarah Omah Tani. Perjuangan bertahun-tahun, yang ketika dapat tanah, ada juga petani yang bersikap pragmatis kemudian justru menjual tanahnya kembali. Tentang orang-orang yang sampeyan anggap penghianat. Saya juga inget tentang kritik sampeyan tentang buruh yang hanya ngurusi upah dan dirinya sendiri, padahal bisa jadi orang tua buruh-buruh di Jakarta itu adalah petani dari Batang. Lalu sampeyan mengutip kalimat Soekarno yang luar biasa itu, “perjuangan tentang PHK, upah, adalah perjuangan yang remeh temeh. Perjuangan terbesar adalah perjuangan politik.”

Kedua dan ketiga kalinya saya datang dengan kawan-kawan buruh yang difasilitasi TURC, dan terakhir saat Rakernas SPAI digelar disana.

Tentu saja, saya belajar banyak dari Omah Tani. Baik sebagai organisasi tani maupun blok politik yang sempat digagas itu. Dinamika di Omah Tani saya pelajari, kemudian ada banyak kawan yang memberikan saya informasi, untuk kemudian diduplikasi di Serang.

Dalam konteks lokal, Batang, itu inspiratif sekali. Tetapi gagasan GBI, melampaui kabupaten dan kota dimana pun. Kami bicara Indonesia. Indonesia kita…

Kahar S. Cahyono, buruh fspmi.