Runtuhnya Kebebasan Berserikat Pasca UU Cipta Kerja: Menelisik Implementasi Konvensi ILO No. 87

Jakarta, KPonline – Dalam beberapa tahun terakhir, hak berserikat di Indonesia mengalami kemunduran signifikan. Terutama setelah pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Bisa dikatakan, keberadaan undang-undang ini adalah pengkhianatan terhadap Konvensi ILO No. 87 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Konvensi ini menjamin kebebasan berserikat dan hak berorganisasi, namun realitas yang terjadi menunjukkan gambaran yang sangat berbeda.

Ketika kemudian ditanyakan tentang bagaimana implementasi Konvensi ILO No. 87 di Indonesia, jawaban saya akan jujur dan tegas: implementasinya sangat buruk. Sejak pengesahan UU Cipta Kerja, situasi semakin memburuk. Kebebasan berserikat, yang merupakan inti dari Konvensi ini, kini lebih sering diabaikan daripada dihormati. Serikat pekerja dihadapkan pada berbagai hambatan, mulai dari intimidasi terhadap anggotanya hingga kebijakan-kebijakan yang menghalangi negosiasi kolektif yang efektif. Keadaan ini menunjukkan sebuah pengkhianatan terang-terangan terhadap komitmen yang sudah disepakati secara internasional, meninggalkan buruh dalam kondisi yang sangat rentan dan serba tidak pasti.

Saya mencatat, setidaknya ada 8 (delapan) indikator memburuknya implementasi kebebasan berserikat dan berunding bersama di Indonesia:

1. Pelemahan Serikat Pekerja oleh Negara

Konvensi ILO No 87 memberikan ruang yang lebih besar bagi pekerja untuk membentuk dan menjalankan serikat pekerja. Tetapi dalam implementasinya, union busting masih sering terjadi. Lahirnya UU Cipta Kerja justru mendorong kebijakan seperti kontrak kerja, outsourcing, dan sistem magang yang membuat pekerja semakin enggan berserikat karena takut akan konsekuensi negatif, termasuk pemecatan. Dengan kata lain, melalui UU Cipta Kerja, negara seperti dengan sengaja menghalangi kaum buruh utk berserikat.

2. Hilangnya Ruang untuk Negosiasi Kolektif

Salah satu hak fundamental yang dijamin oleh Konvensi adalah negosiasi kolektif. Namun, UU Cipta Kerja menghilangkan praktik ini. Untuk menyebut satu contoh adalah kebijakan penetapan upah minimum yang dilakukan secara sepihak melalui suatu formula yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi serikat pekerja. Ini jelas mengurangi kemampuan pekerja untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik.

Kita juga mendapat kabar, ada perusahaan yang memaksa menurunkan kualitas isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sesui dengan standard UU Cipta Kerja. Menjadi lebih buruk. Di mana ketika serikat pekerja menolak, pengurusnya diintimidasi bahkan hingga dilakukan pemecatan dengan alasan yang dicari-cari.

Belum lagi ketika kita mengingat, lahirnya UU Cipta Kerja tanpa melibatkan partisipasi bermakna dari serikat pekerja. Bahkan pernah dibentuk Satgas Omnibus Law yang didalamnya melibatkan pemerintah dan pengusaha, tetapi menihilkan pekerja. Sesuatu yang kemudian ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa beleid ini memang tidak memenuhi prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

3. Represi terhadap Aksi Mogok

Konvensi ILO No. 87 memastikan perlindungan bagi pekerja yang melakukan aksi mogok atau demonstrasi sebagai bentuk ekspresi dari kebebasan berserikat. Namun, di Indonesia, aksi-aksi mogok sering kali dihadapi dengan tindakan represif, contohnya kasus di Bogor dan Morowali, dimana pemogokan ditangani dengan keras oleh pihak berwenang.

4. Campur Tangan Pemerintah dan Pengusaha

Terkadang, pemerintah atau pengusaha mencoba mengontrol atau membatasi kegiatan serikat pekerja melalui peraturan atau praktik yang tidak adil, seperti mencampuri pembentukan serikat atau mempengaruhi pemilihan pemimpin serikat. Di beberapa perusahaan masih ditemui pembentukan “serikat pekerja boneka” untuk menandingi keberadaan serikat pekerja yang independent.

5. Diskriminasi terhadap Anggota Serikat

Masih ditemui pekerja yang terlibat dalam serikat pekerja menghadapi diskriminasi di tempat kerja, seperti dipandang negatif, tidak diberikan promosi kenaikan jabatan, atau pemecatan tanpa dasar yang jelas sebagai bentuk pembalasan.

6. Lemahnya Pengawasan dan Proteksi Hukum

Undang-undang yang melindungi hak berserikat dan berorganisasi belum cukup kuat atau tidak ditegakkan secara efektif, membuat pekerja rentan terhadap eksploitasi. UU Cipta Kerja adalah contoh nyata dari lemahnya proteksi hukum ini, dimana kepentingan pekerja seringkali diabaikan.

Salah satu masalah krusial dalam implementasi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia adalah ketidakefektifan Pengawas Ketenagakerjaan dan Desk Pidana Ketenagakerjaan. Kedua entitas ini seharusnya memainkan peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan dan melindungi hak-hak pekerja. Namun, dalam prakteknya, mereka sering kali gagal mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan. Akibatnya, banyak kasus pelanggaran hak pekerja, seperti kebebasan berserikat, pengabaian standar keselamatan kerja, pemecatan tanpa proses yang adil, dan diskriminasi di tempat kerja, tetap tidak teratasi. Kegagalan ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk mereformasi dan memperkuat lembaga-lembaga ini agar lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan pekerja.

7. Kurangnya Kesadaran dan Edukasi

Kurangnya kesadaran tentang hak-hak di bawah Konvensi ILO No. 87 memang menjadi hambatan besar dalam memastikan kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi bagi pekerja. Pemerintah, yang seharusnya berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran ini, tampaknya belum melakukan upaya secara maksimal. Edukasi yang efektif tentang hak-hak ini penting untuk memberdayakan pekerja agar dapat memanfaatkan sepenuhnya kebebasan berserikat sebagai alat untuk memperbaiki kondisi kerja dan mengadvokasi kepentingan mereka. Tanpa pemahaman yang kuat tentang hak-hak ini, pekerja sering kali tidak mampu atau tidak berani untuk berdiri melawan praktik-praktik kerja yang tidak adil dan eksploitatif.

8. Penggunaan Kontrak Kerja atau Outsourcing

Maraknya penggunaan kontrak kerja atau outsourcing yang lagi-lagi didorong dengan keberadaan UU Cipta Kerja mengurangi kemampuan pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja dan memperjuangkan hak-hak mereka. Pekerja kontrak dan outsoursing sering kali merasa terisolasi dan takut untuk menyuarakan kepentingan mereka atau mengambil risiko dengan bergabung dengan serikat, karena khawatir akan kehilangan pekerjaan.

Seorang kawan pernah bilang, jika UU Cipta Kerja tidak dibatalkan, lama-lama serikat pekerja hanya tinggal papan nama. Punah. Saya membenarkan pernyataan itu. Jika kita hanya diam dan membiarkan situasi ini, bukan tidak mungkin kelak serikat pekerja hanya akan menjadi kenangan, tertulis pada papan nama yang memudar diterpa angin dan debu. Dan itu akan menjadi dosa yang tercatat dalam sejarah, dosa akan pembiaran hak asasi manusia, terbungkamnya suara dari kaum proletar, terkikis sampai ke akarnya. Bukan hanya hilangnya wadah, tetapi lenyapnya nyawa dan napas perjuangan pekerja yang telah lama bergelut dengan waktu dan pengorbanan.

Atas dasar itulah, kondisi saat ini menuntut respons yang cepat dan tegas. Dan kesempatan ini ada: May Day, hari besar yang dirayakan oleh serikat pekerja di seluruh dunia. Ini adalah momentum untuk memperbarui komitmen kita terhadap perjuangan hak-hak pekerja, menggalang solidaritas, membangkitkan kesadaran politik kelas pekerja, dan mengorganisir aksi yang lebih besar. May Day tidak hanya sekedar peringatan, tetapi juga sebuah panggilan untuk bangkit dan bersatu, menuntut perubahan nyata dalam kebijakan dan perlakuan terhadap pekerja. Kesempatan ini harus kita manfaatkan untuk memperkuat serikat pekerja dan memastikan bahwa suara kita tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai dan diperjuangkan.

Lebih dari itu, kita akan terus bersuara untuk mendesak pihak terkait, pemerintah, pengusaha, bahkan komunitas internasional, untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi sesuai dengan standar internasional yang telah disepakati.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Waskil Presiden KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh