Pengusaha Nilai Paket Kebijakan Jokowi Tak Bantu Industri, KSPI: Buat Buruh Apalagi!

Para buruh datang ke tempat aksi atas kesadaran, bahwa perubahan harus diperjuangkan.

Jakarta, KPonline – Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) menilai, paket kebijakan ekonomi yang bertujuan memaksimalkan kinerja dan peran industri nasional belum memberi dampak positif pada industri baja. Ketua Umum Aplindo Achmad Safiun menjelaskan paket kebijakan tersebut tak mampu membuat perizinan jadi lebih mudah sehingga meningkatkan gairah investasi di industri baja.

“Investor izinnya lama, untuk sekali izin saja butuh rangkaian yang panjang, ratusan, bertele-tele sekali,” ujar Achmad, seperti dikutip oleh CNN Indonesia, Rabu (12/10/2016)

Hal ini, lanjut Achmad, menandakan belum maksimalnya kendali Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai lembaga yang mengurusi investasi. Belum lagi, masih banyak perbedaan regulasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dengan regulasi pemerintah daerah sehingga membuat izin semakin sulit ditembus investor, terutama untuk masuk ke kawasan Indonesia Timur.

Kondisi tersebut membuat sebaran industri baja tidak merata. Padahal pemerataan industri baja, menurut Asosiasi Industri Besi dan Baja (The Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) diperlukan untuk ikut mendongkrak pertumbuhan industri baja skala nasional.

“Persebaran belum merata, masih dominan di Pulau Jawa dengan hasil produksi mencapai 11,5 juta ton per tahun. Sementara di Papua dan Maluku, produksinya nol,” kata Komite Standarisasi dan Sertifikasi IISIA Basso Datu Makahanap pada kesempatan yang sama.

Adapun secara rinci, industri baja di Sumatera memiliki angka produksi sebesar 2 juta ton per tahun, disusul Kalimantan 0,6 juta ton per tahun, dan Sulawesi 0,5 juta ton per tahun.

Pemerintah juga dinilai tidak merangsang gairah investasi di industri baja, bukan tidak mungkin target kapasitas produksi yang dibidik asosiasi industri baja di angka 20 juta ton pada 2020 tak akan tercapai dan konsumsi dalam negeri harus ditutup oleh impor.

Basso mengungkapkan, untuk mengejar kapasitas produksi mencapai 20 juta ton pada 2020, industri baja perlu meningkatkan kapasitas crude steel sebesar 10 juta ton dan rolling mill sejumlah enam juta ton.

“Untuk meningkatkannya, diperlukan investasi yang cukup besar. Kalau tidak ada investasi, susah mengembangkannya disaat insentif juga tidak bertambah,” katanya.

Selain itu, pemerintah dan pelaku industri baja juga perlu memperhitungkan penggunaan teknologi canggih. Pasalnya, teknologi menjadi modal tambahan untuk menggedor produksi dengan efisien. Untuk teknologi, Indonesia dapat menjadikan negara ekspor terbesar sebagai referensi dalam menerapkan teknologi canggih dan pengelolaan baja.

Berdasarkan data IISIA, Indonesia masuk 10 besar negara pengimpor besi baja. Tercatat, pada 2013, angka impor Indonesia sebesar 12,3 juta ton. Meski impor tertinggi masih dipegang oleh negara di Uni Eropa, yakni mencapai 30,3 juta ton dan Amerika mencapai 30,3 juta ton.

Negara pengekspor besi baja terbesar di dunia, pada 2013 dipegang oleh China dengan total ekspor mencapai 61,5 juta ton. Diikuti oleh Jepang sebesar 42,5 juta ton dan Uni Eropa sebesar 38,7 juta ton.

Buruh Protes

Sementara itu, kalangan buruh menyesalkan sikap pengusaha yang tak pernah puas dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, hampir semua paket kebijakan ekonomi pemerintah dipersembahkan untuk pengusaha. Bahkan terang-terangan memukul buruh, seperti terlihat dalam paket kebijakan ekonomi jilid IV, yang turunannya adalah PP 78/2015.

Jika pengusaha menganggap Paket Kebijakan Jokowi masih kurang, buruh justru merasa dirugikan. Karena itulah, menurut Said Iqbal, saat ini serikat pekerja di seluruh dunia sedang melawan sikap rakus pengusaha.