Momentum Kebangkitan Kaum Pribumi

Atlantika Institut Nusantara & Wakil Ketua F.BKN SBSI, Jacob Ereste.

Jakarta, KPonline – Dr. Muhamad Dahrin La Ode sering disebut ahli politik etnisitas. Desertasinya pun “Etnis Cina Indonesia Dalam Politik di Era Reformasi: Studi Kasus Keterlibatan Kelompok Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, Kalimslantan Barat, 2998-2008″.

Sebelumnya pun Muhamad Dahrin La Ode telah menulis buku ” Politik Tiga Muka Etnis Cina Indonesia Dalam Perspektif Ketahanan Nasional” (1996). Bahkan masih banyak lagi karya tulisnya yang sudah maupun yang belum dibukukan.

Bacaan Lainnya

Universitas atau perguruan tinggi tempatnya mengajar pun banyak. Mulai dari Universitas Tanjungpura Pontianak hingga Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia bersama sekumpulan Jendral dan perwira Tinggi TNI dari semua angkatan.

Penelitian terbaru Dr. Muhamad Dahrin La Ode bersama kawan-kawannya adalah “Peta Kekuatan Politik Etnisitas di Asia Timur, Konflik Kedaulatan di Laut Cina Selatan. Bahkan Arah Perubahan Strategi Pertahanan di Asia Pasifik dengan aktor Amerika Serikat serta Rusia dan Cina.

Diskusi dan launching buku “Trilogi Pribumisme” karya Dr. Muhamad Dahrin La Ode MSi ini dibedah secara terbuka di Perpustakaan Nasional Jakarta, 26 Oktober 2018.

Laksamana Tejo Edi Pujiatno mengakui adanya dominasi etnis Tionghoa di negara kita, Indonesia, sungguh sangat mengkhawatirkan karena memang reslitasnya begitu adanya.

Acara lounching buku yang ditulis Dr. Muhamad Dahrin La Ode ini diterbitkan oleh Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia, Jakarta 2018.

Buku dosen pengajar di sejumlah perguruan tinggi ini menawarkan resolusi konflik pribumi dengan non pribumi di berbagai belahan dunia. Tejo Edi Pujiatno pun melihat adanya kecenderungan orang dari Timur Tengah di Indonesia sudah ada sebelum Indonesia merdeka masih mau berbaur dengan bangsa kita. Tapi mereka yang dari Utara — Cina — tidak mau. Jadi orang Cina di Indonesia memang sejak dulu memang sudah ekslusif sifatnya dan ekspansionis, kata Laksamana Tejo Edi menandaskan.

Buku Trilogi Pribumisme ini kata Dahrin La Ode diinspirasi oleh empat hasil penelitiannya terdahulu. Seperti Arah Politik Etnis Cina Indonesia Dalam Sistem Politik Nasional tahun 2015. Namu yang gawat, etnis Cina keturunan sebagai imigran asal Cina di Indonesia punya keinginan untuk mengambil alih kekuasaan dari kaum Pribumi Nusantara.

Realitas sosial bagi Indonesia yang berciri kemajemukan kelompok-kelompok etnis yang membentuk suatu entitas politik hasil dari konsensus politik etnisitas. Adapun jangka waktu peralihan kekuasaan atas dasar etnis Cina ini diperkirakan baru akan terjadi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan, yaitu pada periode masa 2019-2029.

Fenomena dari hasrat Etnik Cina untuk menguasai Indonesia dipapar Muhamad Dahrin La Ode dalam buku setebal 480 halaman ini. Dalam teorinya, Trilogi Probumisme memuat tiga paham, yakni Pribumi Pendiri NKRI, Pribumi Pemilik NKRI dan Pribumi Penguasa NKRI. Tetapi realitasnya sekarang, masalah kepemilikan NKRI sudah bergeser atau mulai berpindah tangan kepada bangsa asing. Bahkan penguasaannya Pribumi terhadap NKRI pun sudah bergoyah. Setidaknya indikasi dari kedaulatan rakyat seperti yang termaktub pada sila Pancasila semakin diabaikan. Padahal, proses terbentuknya negara menurut M. Dahrin La Ode awalnya didirikan oleh para pribumi, sehingga kaum Pribumi sebagai pendiri, sebagai pemilik dan sebagai penguasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang harus dan mesti diyakini merupakan harga mati. Artinya tidak bisa ditawar-tawar. Apalagi sampai ada keinginan dari suatu pihak yang hendak menggadaikan NKRI.

Dalam konteks inilah relevan kiranya apa yang dicemaskan Tejo Edi bahwa suatu negara itu memang bisa hancur hanya karena moral bangsa yang dilemahkan, atau ekonominya yang dilumpuhkan.

Upaya merusak budaya bangsa Indonesia, bisa dilihat dari maraknya pasokan narkoba yang semakin deras masuk Indonesia. Demikian juga budaya korupsi seperti mendapat angin segar karena hukuman yang ringan hingga sekarang terus muncul aktor-aktor kasus korupsi yang baru tanpa sedikitpun terkesan ada rasa malu dari mereka yang melakukannya.

Demikian juga dalam budaya politik kita di Indonesia, seperti tidak sama sekali memilki etika dan moral prilakunya. Masing-masing politisi kita di Indonesia seperti sudah menghalalkan semua cara. Lompat dari partai yang satu ke partai yang lain pun, begitu mudah seperti memilih menu makan saat menghadiri suatu pesta.

Adapun sistem ekonomi kita pun semakin jauh meninggalkan paham pada Pancasila seperti yang pernah dipapar Prof. Mubyaryo dan Prof. Sri Edhi Swasono yang teguh mengacu pada ajaran Bung Hatta. Sehingga nilai dan azas gotong royong dan kekeluargaan dalam upaya membangun tata ekonomi bangsa Indonesia sejarang semakin jelas terpelanting dari amanah UUD 1945 yang sudah diamandemen habis-habusan itu sekarang.

Agaknya, ajakan Muhamad Dahrin La Ode bersama Letnan Jendral (Purn) Prof. Dr. Syarifudin Tippe dan Laksamana Tejo Edi Pujiatno bersama segenap civitas akademika Universitas Pertahanan Indonesia patut didukung, apalagi idealisme dari perguruan tinggi yang dibangun oleh para patriot sejati bangsa Indonesia ini telah mengendus adanya niat jahat dari etnis tertentu yang hendak merebut hak kepemilikan kaum Pribumi dari tanah dan air warisan leluhur kita yang sudah mempertahankan segalanya dengan harkat dan martabat serta harga diri bangsa. Artinya, kewaspadaan terhadap bangsa asing yang telah menanamkan niat jahatnya itu dengan segala cara dan kelicikan mereka dengan cara perang modern — seperti memasok narkoba dan tenaga kerja asing — jika terus dibiarkan maka mereka akan semakin cepat menjadi penguasa yang mutlak atas kedaulatan politik negeri kita, juga kemandirian ekonomi serta kepribadian budaya dari segenap suku bangsa kita yang tidak lagi punya kedaulatan.

Begitulah petani kita terus dipaksa mengkonsumsi komoditi impor. Kaum buruh Indonesia semakin tersisih di negerinya sendiri. Apalagi kaum pedagang asli pribumi kita, seperti tak berhak mengendus peluang dan kesempatan mengembangkan usaha perniagaan di negerinya sendiri.

Marsekal Tejo Edi Priyatno pun mengaku rela diresufle dari kabinet, hanya terlalu vokal menyuarakan keluhan rakyat. Menurut Tejo Edi Priyatno, mulai dari masalah bebas visa dan derasnya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia dia akui sudah amat sangat dia rasakan begitu merisaukan hati. Karena buruh kita sendiri di dalam negeri menjadi tersingkir, tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, hingga kaum buruh kita pun tidak kebagian lapangan kerja.

Sedangkan kerisauan Kolonel Laut Rifa’i Ras mengungkap ancaman bagi Indonesia di Laut Cina Selatan. Meski secara politik Indonesia telah mengganti nama kawasan itu dengan nama Laut Natuna Utara, bukan berarti Indonesia boleh lengah dari infasi Cina yang semakin agresif dan terus masuk merangsek dalam berbagai cara dan bentuk. Utamanya untuk bidang ekonomi dan budaya kita yang semakin rentan, harus selalu kita jaga. Jangan sampai lengah dan jangan sampai kita dikuasai oleh Cina. Karena itu bangsa Pribumi Indonesia harus bangkit dan segera bergerak, bertindaklah sebelum semua terlanjur jadi mangsa mereka.

Bangkitlah kaum pribumi. Karena sekarang saatnya momentum yang tepat, apalagi menjelang Kongres Kaum Pribumi pada akhir tahun 2018, pastikan haruslah menghasilkan rumusan langkah strategis dan taktis untuk menjawab tantangan dan ancaman penjajah baru di negeri kita.

Penulis: Jacob Ereste

Pos terkait