Menurut BPS Kemiskinan di Indonesia Semakin Parah. Masihkah Pemerintah Membantah?

Jakarta, KPonline – Mari bicara tentang kemiskinan. Ini merupakan sesuatu yang penting, karena kemiskinan menjadi satu hal yang paling ditakuti oleh masyarakat. Dimana-mana masyarakat mendambakan kesejahteraan. Mereka bekerja keras, siang dan malam, agar tidak jatuh menjadi miskin.

Tetapi kemiskinan bukan takdir. Ada kalanya, kemiskinan justru karena salah urus negara.

Bacaan Lainnya

Agar tidak berpolemik panjang, kita gunakan saja data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS). Sebagaimana kita tahu, BPS adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ini badan resmi milik pemerintah. Berdasarkan undang-undang, peranan yang harus dijalankan oleh BPS salah satunya adalah menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat. Data ini didapatkan dari sensus atau survey yang dilakukan sendiri dan juga dari departemen atau lembaga pemerintahan lainnya sebagai data sekunder.

Baru-baru ini, BPS mencatatkan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia meningkat masing-masing 1,83 dan 0,48 di Maret 2017 dibanding realisasi September 2016 yang sebesar 1,74 dan 0,44. Jumlah penduduk miskin di bulan ketiga ini sebanyak 27,77 juta orang dengan persentase 10,64 persen. Jumlah ini naik 6.900 orang dibandingkan September 2016. Penduduk miskin kota sebanyak 7,72 persen sedangkan penduduk miskin desa sebanyak 13,93 persen.

Perlu diketahui, indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauhi garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan mengindikasikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Jika indeks kedalaman meningkat, berarti tingkat kedalaman kemiskinan semakin dalam. Jarak antara rata-rata pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan semakin jauh. Sementara untuk Indeks Keparahan Kemiskinan, naik dari 0,44 di September 2016 menjadi 0,48 di Maret 2017. Indeks keparahan kemiskinan ini menunjukkan bahwa variasi pengeluaran penduduk miskin menjadi semakin lebar.

Angka kemiskinan ini merupakan titik terparah sejak 2011. Ini sudah mendekati titik hardcore poverty 10 persen. Artinya, untuk menurunkan sedikit saja, perlu effort luar biasa.

Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin

Ironisnya, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengatakan, kekayaan kelas menengah semakin tumbuh dan kelas teratas justru menurun. Sekitar 60 persen jumlah penduduk merupakan kelas menengah. “Kenaikan di kelas paling bawah kurang cepat. Pembangunan dinikmati lapisan menengah ke atas, bukan tertinggi, sehingga ketimpangan stagnan,” kata Sairi.

Artinya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Bila dilihat maka tingkat inflasi di seluruh Indonesia dalam rentang September 2016 hingga Maret 2017 sebesar 2,24 persen. Meski tergolong kecil, tetapi angka inflasi ini mampu “berlari lebih kencang” dibandingkan perbaikan upah yang diterima buruh. Artinya, pendapatan yang diterima tidak cukup ampuh untuk mengimbangi nilai inflasi yang ada.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, selama September 2016 hingga Maret 2017, upah buruh tani baik yang nominal atau riil mengalami kenaikan. Namun upah buruh bangunan hanya naik untuk upah nominalnya saja. “Karena tidak mampu kejar inflasi sehingga periode tersebut upah riil buruh bangunan turun,” kata Suhariyanto.

Dalam titik inilah perjuangan kaum buruh yang menuntut upah layak memiliki makna. Agar daya beli buruh meningkat, yang pada akhirnya bisa mengurangi tingkat kemiskinan.

Bukti Kebijakan Ekonomi Pemerintah Salah

Meningkatnya angka kemiskinan sebagaimana dilaporkan BPS menjadi bukti ada yang salah dengan kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK. Kebijakan fiskal yang semestinya menjadi stimulus ekonomi kerakyatan hanya menguntungkan pihak tertentu.

Diantara kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat miskin adalah pengurangan subsidi BBM dan listrik. Kebijakan ini membuat rakyat miskin harus menanggung dampak kenaikan harga barang dan jasa. Dengan kenaikan barang-barang maka daya beli rakyat semakin melemah sehingga memperdalam angka kemiskinan.

Menurut Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA) Sya’roni, “Solusinya, Presiden Jokowi harus segera mengubah arah haluan pembangunan ekonomi, agar lebih berpihak kepada rakyat kecil.”

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *