Mekanisme Pengambilan Dana JHT Akan Direvisi

Jakarta, KPonline – Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini, pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dilakukan sebulan setelah peserta tidak bekerja atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, nampaknya hal ini tidak akan berlaku pada tahun 2017 nanti.

Rapat Pleno Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional sudah menyepakati keputusan pencairan dana JHT yang dimiliki para pekerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dapat dicairkan minimal kepesertaan 5 (lima) tahun dengan masa tunggu 1 (satu) bulan. Tidak seperti sekarang, yang tidak ada batas minimal kepesertaan, ketika pekerja di PHK, JHT bisa dicairkan.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, perubahan syarat batasan kepesertaan pencairan dana JHT tersebut akan mulai dilakukan pada Januari 2017 mendatang. Lebih lanjut ia mengatakan, intinya semua sudah bersepakat untuk mengembalikan skema JHT menjadi lima tahun satu bulan, sama seperti pada masa Jamsostek dengan UU nomor 3/1992.

Terkait dengan hal itu, dirinya akan segera melakukan perubahan (revisi) terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengambilan Jaminan Hari Tua. Hanif mengatakan, saat ini tahapannya masih berada dalam tingkat koordinasi lintas sektor/kementerian untuk diselaraskan.

“Intinya (revisi JHT) lagi diproses. Dikoordinasikan lintas sektoral. Saya belum cek posisinya di mana, tapi intinya masih diproses,” ucapnya di sela acara 5th Asian Corporate University Summit 2016 di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (8/11/2016).

Terkait dengan adanya perubahan kebijakan mengenai pengambilan JHT, wajar jika kemudian muncul pertanyaan. Benarkah soal pengambilan JHT merupakan masalah yang utama di bidang ketenagakerjaan? Karena selama ini mayoritas buruh tidak mengeluhkan sistem ini. Semua enjoy. Ibarat kata, jika bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit? Terlebih lagi, toh dana JHT adalah uang buruh — yang mestinya bisa diambil kapan saja. Meskipun kemudian yang terjadi sebaliknya, bila bisa dipersulit, mengapa dipermudah?

Justru permasalahan krusial seperti upah, outsourcing, jaminan kesehatan, hingga lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan, seperti tidak tersentuh. Kalau mau, mestinya LKS Tripartit Nasional fokus pada isu ini.

Tentu kita masih ingat, sebelumnya ketentuan pengambilan JHT yang semula 5 tahun direvisi. Pengambilan JHT baru bisa dilakukan setelah masa kepesertaan 10 tahun. Kebijakan ini diprotes kalangan buruh, salah satunya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan beberapa element buruh yang lain, saat itu — meskipun di bulan Ramadhan — melakukan aksi di Bundaran HI.

Ketika protes makin menguat, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk segera merivisi peraturan tersebut. Sehingga pekerja yang terkena PHK dan bagi pekerja yang tak lagi bekerja atau mengundurkan diri bisa mencairkan JHT sesegera mungkin. Peraturan inilah yang berlaku saat ini. Bagi buruh yang ter-PHK atau tidak lagi bekerja, bisa langsung mengambil uang JHT.

Ketika kemudian peraturan ini akan dirubah kembali, pengambilan JHT hanya bisa dilakukan setelah massa kerja 5 tahun, bukan tidak mungkin hal ini akan menuai protes dari kalangan buruh.

Sederhana alasannya. Buruh berpendapat JHT adalah tabungan. Karena itu tabungan, maka kapanpun ketika mereka membutuhkan dan mau mengambil, bisa diambil. Terlebih lagi dengan upah di Indonesia yang masih murah. Sebagian besar masih memikirkan hidup hari ini dan besok. Sebagian besar buruh tidak punya tabungan. Ketika di PHK dan kepesertaan JHT baru 3 tahun, misalnya, terlalu lama bagi mereka menunggu 2 tahun lagi untuk mengambil dana JHT. (*)