Masyarakat Dipaksa Transaksi Non Tunai, Pemerintah Seperti Sales E-Money

Jakarta, KPonline – Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Gardu Tol Otomagis (GTO) 100% yang dilakukan oleh PT Jasa Marga dan didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sesungguhnya hanya menguntungkan pihak bank penerbit uang elektronik.

Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia Sabda Pranawa Djati.

Perlu diketahui, GTO bukan hal yang baru. Sudah sejak lama di gerbang tol tersedia GTO. Masyarakat bisa memilih: tunai atau non tunai.

Meskipun sudah sejak lama GTO tersedia di beberapa gerbang tol. Namun konsumen pengguna jalan tidak antusias untuk membeli e-toll/e-money. Hal ini dibuktikan dengan sepinya GTO di hampir semua gerbang tol.

Masyarakat tidak begitu antusias melakukan transaksi secara nok tunai (e-money). Mayoritas pengguna jalan tol (konsumen) memilih melakukan transaksi secara tunai.

Jika baru-baru ini ada peningkatan pesat transaksi menggunakan e-money, itu karena tidak ada pilihan lagi — selain membayar secara non tunai. Kasarnya, masyarakat dipaksa menggunakan e-money, yang notabene dikeluarkan oleh perbankan.

Dengan kata lain, perubahan yang terjadi karena dipaksa. Bukan atas dasar kesadaran.

Itulah sebabnya, Sabda mempertanyakan. Mengapa seolah-olah pemerintah berperan sebagai sales perbankan untuk jualan e-money?

Menurut Sabda, selama ini bank penerbit uang elektronik kebingungan karena e-money tidak laku di masyarakat. Sehingga Sabda menduga pihak perbankan (melalui Himpunan Bank Negara/Himbara) kemudian melobi Pemerintah (Bank Indonesia) untuk bisa turut “menjual” e-money dengan mewajibkan transaksi non tunai di beberapa fasilitas publik, seperti di Transjakarta dan di jalan tol.

Sabda tidak mempermasalahkan jika bank berjualan kartu uang elektronik secara retail tanpa melibatkan peran Pemerintah melalui regulasi yang mewajibakan.

Namun menjadi persoalan yang serius dan merugikan konsumen ketika ada dugaan, justru Bank Indonesia (pemerintah) yang kemudian keblinger dengan berperan sebagai “sales” dan menggunakan instrumen Negara (Kementerian PUPR dan BUMN) untuk memaksa konsumen membeli e-toll/e-money.

Deputi Presiden KSPI Muhamad Rusdi menduga, ini adalah cara terselubung untuk menghimpun uang masyarakat. Bagaimana tidak? Ada saldo mengendap dalam e-toll yang tidak akan diberikan bunga, biaya top-up, dan beberapa hal lain.

Sekretaris Pimpinan Pusat SPAMK FSPMI Slamet Fitriono juga mengkritisi, bahwa nilai uang elektronik yang disetorkan terlebih dahulu oleh Pemegang kepada Penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah.

Disamping itu, karena tidak termasuk simpanan maka Uang Elektronik yang dimiliki oleh Pemegang tidak termasuk yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Jika e-money bukan simpanan yang dilindungi LPS, bagaimana jika ada masalah dengan kartu yang hilang atau rusak. Bagaimana dengan nilai uang yang didalamnya? Apakah akan hilang, karena sudah tidak bisa lagi digunakan untuk transaksi.

Hal lain. Jika ada saldo atau uang yang tak terpakai akibat tidak dapat dipergunakannya kartu tersebut, nilai mata uang tersebut milik siapa?

Kebijakan ini juga berpotensi terjadinya money laundring akibat begitu bebasnya penggunaan e-money tanpa registrasi sehingga dana begitu bebas diparkir dalam bentuk kartu “tak bertuan”.

Dalam sebuah pertemuan dengan KSPI dan ASPEK Indonesia, Commissioner BPKN, Arief Safari mengatakan bahwa BPKN telah membuat Rekomendasi kepada Bank Indonesia tertanggal 22 September 2017, yang salah satu rekomendasinya berbunyi “Pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terjamin tetap memiliki akses pembayaran tunai, sesuai Undang Undang No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku”.

Kita berharap, masyarakat tetap diberikan pilihan. Mau membayar secara tunai atau non tunai.