Blitar, KPonline – Sebagian besar masyarakat Jawa hari ini merayakan kupatan. Ini juga dikenal dengan lebaran kupat. Di mana hampir semua rumah membuat ketupat.
Tradisi kupatan dilakukan seminggu setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri. Bisa juga dianggap sebagai perayaan bagi mereka yang menjalankan puasa Syawal. Berbeda dengan lebaran, yang dirayakan pasca puasa Ramadhan.
Di beberapa daerah yang lain, kupatan sudah dilakukan sejak hari pertama Idul Fitri. Sehingg persis di hari lebaran sudah tersedia ketupat dan teman-temannya, seperti opor ayam.
Bahkan ada daerah yang sudah melakukan kupatan di pertengahan Ramadhan, malam qunut. Jika Anda pernah merayakan lebaran di berbagai daerah yang berbeda, Anda akan melihat bahwa tiap daerah memiliki tradisinya sendiri.
Itu bukan perbedaan. Itu adalah keragaman.
Saya masih mengingat momen ketika masih kecil. Bagaimana orang tua saya mengajari membuat ketupat sendiri, sebagai ikhtiar untuk melestarikan tradisi. Malamnya ketupat itu dimasak. Dan pagi keesokan harinya ketika saya bangun, kupat-kupat itu sudah tergantung di atas pintu.
Kali ini, bapak saya pun masih membuat ketupat sendiri. Pun dari janur yang dipetik di kebun sendiri. Bedanya, saya sudah lupa bagaimana cara membuatnya.
Pelajaran pentingnya, jangan hidup di masa lalu. Meski dulu kita bisa melakukan sesuatu, sekarang belum tentu.
Meski dulu dianggap yang paling berjasa. Bisa jadi sekarang dinilai tak berguna.
Apapun itu, ketupat memiliki nilai filosofis tersendiri. Kata “kupat” berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan).
Inilah esensi dari Idul Fitri. Kembali suci. Bersih dari noda dan dosa. Setelah Allah memaafkan kita di bulan Ramadhan, Idul Fitri membawa kita saling bermaaf-maafan. Menebus dosa sesama manusia, atas semua kesalahan. Baik yang disengaja maupun tidak.
Meski sebenarnya, mengakui kesalahan tak harus menunggu lebaran. Setiap saat, ketika kita melakukan kesalahan, meminta maaf adalah sikap yang terhormat.
Mengutip dari islami.co, kupat juga dapat diartikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol dari empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan.
Lebaran yaitu suatu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar. Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati apa yang diharamkan selama puasa.
Luberan berarti meluber, yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu, tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.
Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan, sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir.
Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga prilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Sedangkan dari segi hidangannya, janur sebagai bungkus ketupat, berasal dari kata “ja a nur” yang berarti telah datang cahaya. Hal ini melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadlan, kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa.
Sedangkan dari isi ketupat, yakni berasal dari beras terbaik yang dimasak sampai menggumpal “kempel”, memiliki makna kebersamaan dan kemakmuran.
Pada akhirnya, di momentum ini saya ngaku lepat. Mengaku salah. Maafkanlah….