Laskar Turonggo Timur, Generasi Muda Papringan Semin Gunung Kidul Budayakan Kesenian Jathilan

Semin, KPonline – Kesenian Jathilan merupakan kesenian yang telah lama dikenal oleh masyarakat kota Yogyakarta dan sekitarnya bahkan juga diwilayah Jawa tengah kini mulai digandrungi dan dibudayakan kembali generasi muda Papringan Semin Gunung Kidul Yogyakarta.

Pantauan langsung Koran Perdjoeangan Kelompok generasi muda yang tergabung dalam Laskar Turonggo Timur asal Papringan Semin, Gunung kidul dengan giat melakukan latihan kesenian Jathilan di halaman rumah salah satu anggota Laskar Turonggo Timur pada Kamis malam (11/4/2024).

Latihan kami lakukan pasalnya awal bulan Mei 2024 akan melakukan pentas dalam acara hajatan warga Semin. “Latihan kami lakukan agar lancar dalam pentas yang akan dilakukan pada awal Mei 2024 mendatang,” kata Ari.

Informasi yang dihimpun koran perdjoeangan Kesenian Jathilan juga dikenal dengan nama kuda lumping, jaran kepang dan kuda kepang. Kesenian jathilan berasal dari kalimat berbahasa Jawa. “jaranne jan thil-thillan tenan,” yang jika dialihkan ke Bahasa Indonesia menjadi, “Kudanya benar-benar joget tak beraturan.”

Joget tak beraturan (thil-thillan) ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para penari telah kerasukan.

Selanjutnya menurut cerita bapak Hadiyanto (Bapak dari Almarhumah Widiati), cerita yang terus menerus terdengar itu menjadi turun temurun bisa diceritakan kepada generasi selanjutnya. “Jathilan adalah sebuah kesenian yang mengisahkan sebuah perjuangan Raden Fatah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda waktu itu,” katanya.

Lebih lanjut ia mengisahkan bahwa selain itu juga di ceritakan bahwa Jathilan mengabadikan kisah Raja Hamengku Buwono I waktu itu melatih prajuritnya untuk melawan penjajah Belanda. “Dalam cerita lain Jathilan juga menggambarkan saat Hamengku Buwono I raja Yogyakarta melatih prajurit untuk melawan Belanda,” kisahnya.

Diceritakan juga bahwa saat itu kesenian jathilan sudah sering dipentaskan didusun-dusun kecil. “Pementasan ini memiliki dua tujuan yang pertama yaitu sebagai sarana menghibur rakyat sekitar dan yang kedua juga dimanfaatkan sebagai media guna menyatukan rakyat dalam melawan penindasan kala itu.” pungkasnya.

Sehingga yang dipentaskan adalah sosok prajurit yang berpenampilan mirip dengan jaman kerajaan dahulu dan gerakannya tari diiringi dengan alunan bunyi gamelan serta lantunan suara sinden.

Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakkan badan, namun seiring waktu berjalan para penari menjadi kerasukan roh halus, dimana kondisi kerasukan ini dalam bahasa Jawa sering dikatakan istilah ” Ndadi” atau bahasa Inggrisnya “trance”.

Karena kerasukan para penari Jathilan hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannya pun mulai tak teratur, pada kondisi inilah kata jathilan itu tergambar “Jaranne Jan Thil-thillan Tenan (Kudanya benar-benar berjoget tak beraturan)”.

Tatkala “Ndadi” alias kerasukan para penari jathilan mampu melakukan gerakan atau atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga mengunyah beling (pecahan kaca). (Yanto)