Kembali ke FSPMI

Bogor, KPonline – Pernahkah kalian merasakan mudik ke kampung halaman? Setelah sekian lamanya meninggalkan rumah, untuk mengadu nasib di kota besar.

Yup, mudik merupakan suatu tradisi unik yang cukup melelahkan bagi yang memiliki kampung halaman. Berbagai persiapan dikerjakan dengan matang, agar di perjalanan selamat dan sehat, hingga tiba di kampung yang penuh kenangan.

Bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kampung halaman? Ya, salah satu cara agar memiliki kampung halaman yaitu dengan cara, menikahi pasangan yang memiliki kampung halaman tentunya.

Bagaimana dengan orang-orang yang bersama pasangannya, juga tidak memiliki kampung halaman? Itu beda cerita lagi, dan tentunya akan beda lagi pengalaman hidupnya.

Bagi saya, FSPMI sudah seperti rumah sendiri. Ada kakek nenek, ada orang tua, ada anak, ada kakak adik, bahkan tidak jarang sepupu, paman bibi dan handai taulan yang lain pun, “numpang hidup” dirumah besar ini.

FSPMI memang sudah seharusnya menjadi “rumah” bagi buruh-buruh Indonesia, baik yang kerah putih, pun bagi kaum buruh kerah biru yang mendominasi rumah besar ini. Bahkan, tidak hanya sebagai rumah bagi saya dan ratusan ribu anggota lainnya, FSPMI pun menjadi kawah candra di muka, untuk melatih fisik dan mental, serta menimba ilmu perburuhan.

Dalam hal pendidikan perburuhan dan pendidikan wawasan lainnya, kontribusi FSPMI bagi diri saya pribadi cukup besar. Ada banyak perubahan yang terjadi didalam diri saya pribadi, perubahan didalam keluarga, bahkan cara berkomunikasi hingga pembawaan diri pun meningkat, sejak 2005 hingga kini.

Dan saya rasa, perubahan itu tidak hanya terjadi didalam diri saya pribadi, tapi juga di ruang lingkup yang lebih luas. Terutama di ruang lingkup PUK, hingga ke tingkat yang selanjutnya.

Bahkan, berdasarkan pengalaman dan cerita-cerita yang dikisahkan oleh kawan-kawan buruh Bogor, tidak jarang, HRD-HRD perusahaan atau pabrik-pabrik yang ada di Bogor, baik di kawasan-kawasan industri maupun diwilayah lainnya, ketika mendengar kata FSPMI, mereka akan mengernyitkan dahi.

Berbagai alasan mereka ungkapkan, mulai dari kekhawatiran mereka terhadap aksi-aksi pilar FSPMI yang bernama Garda Metal, hingga pemberitaan di media yang FSPMI miliki, yang dikenal dengan Koran Perdjoeangan.

Bahkan, ada sebuah cerita dari seorang kawan buruh yang bekerja di kawasan industri Sentul, Bogor, yang pernah menceritakan kisahnya kepada saya.

“Ketika ingin mendirikan FSPMI di pabrik tempat gua bekerja, HRD-nya masa bilang gini Bang. Kalian boleh berserikat, kalian boleh bikin SP/SB apa aja, asal jangan FSPMI,” tutur kawan saya itu.

Sejenak kami tertawa terpingkal-pingkal bersama-sama mendengar penjelasan kawan tadi. Sekilas, ada sebuah kebanggaan dalam diri kami pada saat itu. Kami seakan-akan “ditakuti” oleh banyak perusahaan dan pabrik yang ada di Bogor.

Tapi dibalik itu, saya pun berpikir, sebegitu negatifnyakah FSPMI di mata para HRD perusahaan yang ada di Bogor? Ada semacam momok yang menakutkan, jika masuk FSPMI, buruh-buruh yang ada didalam perusahaan atau pabrik tersebut akan sering demo, brutal dan frontal.

Bagi saya cukup aneh, jika para HRD perusahaan mempunyai pemikiran seperti itu. Atau jangan-jangan dinamika hubungan industrial diantara mereka, sebenarnya memang sudah kurang baik sebelum masuk FSPMI? Sehingga ketika masuk FSPMI, hal itu dijadikan alasan untuk “membalas dendam” terhadap perlakuan Management perusahaan tersebut? Siapa tau bukan?

Ya, ada banyak kok, kawan-kawan buruh yang mengakui, tanpa membicarakan tentunya, ketika mereka telah masuk FSPMI, hal tersebut dijadikan “acara gagah-gagah” buat mereka, Show of Force terhadap pihak pengusaha. Dan meskipun hal tersebut bukanlah sesuatu hal tabu untuk dilakukan, akan tetapi menonjolkan kekuatan di waktu dan kesempatan yang tepat, tentunya akan merugikan kita di waktu-waktu yang akan datang.

Dan tidak diragukan dan dipungkiri lagi, secara struktural organisasi serikat pekerja/serikat buruh, FSPMI sudah hampir mendekati kesempurnaan dalam hal itu. Organisasi dengan kekuatan penopang pilar-pilar organisasi yang ada, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, antara yang satu dengan yang lainnya.

Tidak mengherankan, jika ada banyak PUK-PUK yang pernah keluar dari FSPMI, pada akhirnya kembali ke pangkuan haribaan FSPMI. Karena ada sesuatu hal yang tidak dapat tergantikan di tempat lain.

Ada rasa kangen yang mendera rindu, jika merasa jauh dengan FSPMI. Ada rasa “ngangenin” dirumah ini, suasana kekeluargaan yang tidak didapatkan dirumah yang lain.

Saya pun merasakan hal itu. Dan kalau pun, jika ada perselisihan, sedikit amarah dan emosi yang membuncah dan meledak didalamnya, itu adalah sesuatu hal yang biasa terjadi di dalam setiap keluarga dirumah kan?

Yang penting, tindakan otoriterianisme, saling menyalahkan ketika ada masalah, atau hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan, sebisa dibicarakan dan dimusyawarahkan dengan sesegera mungkin. Mudah bukan?

Kembali ke FSPMI, saya yakin kawan-kawan buruh yang pernah keluar dari FSPMI, saat ini merasakan kerinduan di masa-masa keemasan 2012 hingga 2015 yang lalu. Ketika kemenangan demi kemenangan kita raih secara bersama-sama, baik di daerah maupun secara nasional.

Dan saya yakin, FSPMI akan membuka tangan, memberikan pundak dan dadanya sebagai tumpuan, bagi jutaan kaum buruh yang ada di Indonesia, atau pun bagi mereka yang merasa kangen dengan FSPMI. Dan jika, kembali ke FSPMI menjadi salah satu tujuan kawan-kawan dalam berserikat dan berkumpul, kami akan tetap setia menunggu kalian dengan penuh kesabaran.

Dan jika ada orang-orang FSPMI, yang pernah menyakiti kalian di waktu lampau, mohon maafkanlah. Karena bagaimana pun juga, FSPMI akan terus berdiri, dan akan terus memberi arti bagi negeri ini. (RDW)