Berapa jumlah kita? Satu! Apa slogan kita? Buruh bersatu tak bisa dikalahkan! Bagaimana seruan kita? Kaum buruh sedunia, bersatulah!
Hari ini, aksi kita untuk memperjuangkan jaminan pensiun memasuki hari kelima. Sasaran aksi adalah DPR RI, Kemenakertrans, dan Kemenkeu. Satu hal yang perlu dicatat, aksi yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan afiliasi politik manapun. Tidak juga untuk pencitraan elit, siapapun itu.
Aksi ini adalah tanggungjawab peradaban. Sebuah kesadaran, bahwa hanya dengan aksi nyata perubahan bisa diwujudkan. Bentuk kecintaan kita akan sebuah negara Walfare State yang harus diperjuangkan tidak hanya dalam kata, tetapi juga perbuatan.
Tentu saja, kita bangga bisa melakukannya. Karena untuk turun ke jalan — tanpa dibayar — sesuatu yang langka di zaman ini. Sebuah zaman ketika banyak orang bergerak hanya ketika ada proposal, sponsor, pendonor, dan nasi bungkus.
Beberapa tahun yang lalu, tidak ada yang peduli dengan gerakan serikat buruh yang menggeliat itu. Hingga kemudian dunia tersentak, ketika serikat buruh melakukan ‘grebek pabrik’ dan pemogokan secara nasional.
Pasca itu, banyak pihak yang melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, dan deversi, terhadap gerakan buruh.
Dikatakan, gerakan serikat buruh yang terus membesar ini hanya untuk kepentingan elitnya, karena pengambilan keputusan dilakukan dengan tangan besi (oligarkis). Tanpa memeriksa jika dalam internal setiap organisasi ada mekanisme pengambilan keputusan yang tersedia, dari Munik, Muscab, Munas, Kongres, Rakernik, Rakercab, Rakernas, Rapim, bahkan Ratin dan budaya rapat akbar dalam bentuk konsolidasi-konsolidasi. Itu semua merupakan ruang-ruang pengambilan keputusan.
Perhatikan. Cara mudah untuk melakukan penyesatan opini adalah dengan memutar balikkan fakta. Mereka yang kalah suara atau pendapatnya tidak diterima, digambarkan sebagai pihak yang tersingkirkan. Menyebut keputusan diambil tidak demokratis.
Kebohongan yang disampaikan berulang-ulang, akan nampak sebagai kebenaran. Dan mereka mempraktekkan benar teori ini, dengan terus-menerus melakukan propaganda. Memposisikan diri sebagai dukun yang memberikan nasehat agar serikat buruh melakukan ini dan itu, didukung dengan teori-teori rumit — yang tidak dipahami kaum buruh kebanyakan — padahal tidak terbukti pernah membangun organisasi seideal omong kosongnya.
Agar terlihat sopan, ilmiah, dan berpendidikan, dinamakannya ini sebuah kritik. Tetapi jika kritik itu tidak dijalankan, dikatakan orang-orang yang dikritiknya anti perubahan. Lupa, kalau kebijakan dalam sebuah organisasi ada pada organisasi itu sendiri.
Mengapa ngotot sekali ingin memiliki kuasa atas sikap yang diambil organisasi yang independen?