Jakarta, KPonline – Bertepatan dengan peringatan HUT Bhayangkara ke 70, Jumat (1/7/2016), KSPI berharap Polri bisa bekerja dengan profesional dan mengedepankan tindakan persuasif dalam menangani masalah sosial. Terutama terhadap element gerakan sosial yang sedang menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah.
Dalam hal ini, kaum buruh memiliki beberapa catatan buruk atas kinerja kepolisian. Beberapa diantaranya adalah, kriminalisasi dan kekerasan dalam aksi buruh menolak PP 78/2015 di Istana Negara pada tanggal 30 Oktober 2015, penggusuran dengan kekerasan di Jakarta dan beberapa daerah lain, dan baru-baru ini diduga melakukan kriminalisasi terhadap guru Samhudi di Sidoarjo.
Presiden KSPI Said Iqbal mengingatkan, Polisi lahir dari rahim reformasi. Maka polisi tidak boleh berperilaku seperti Orde Baru. “Polisi dilahirkan dari darahnya mahasiswa, para aktivis, termasuk buruh ada didalamnya. Polisi adalah anak kandung dari reformasi,” katanya.
Lebih lanjut Said Iqbal mengatakan, “Buruh mengingatkan kepada polisi untuk kembali kepada ibu kandung mereka. Menegakkan hukum, mengayomi dan melayani, bukan menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekuatan. Karena itulah polisi langsung berada dibawah Presiden. Tidak lagi menjadi bagian dari TNI atau dulu yang disebut ABRI. Polisi harus dikembalikan sebagai alat sipil. Dia bukan alat gebug atau alat menakut-nakuti. Polisi bukan alat intimidasi, bukan alat untuk melawan kekuatan rakyat, buruh, dan mahasiswa yang ingin memperjuangkan kesejahteraan.”
Bertepatan dengan HUT Bhayangkara ke 70 ini, Iqbal juga berharap Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak lagi menjadi “alat pemilik modal” hanya karena adanya permintaan kepala daerah, seperti yang diduga dilakukan gubernur Ahok dengan meminta polisi mengamankan pergub DKI Jakarta tentang pelarangan aksi kecuali di 3 tempat (meskipun akhirnya direvisi). Termasuk melakukan penggusuran yang diduga menggunakan dana CSR dan melibatkan TNI dalam penggusuran, yang notabene bukanlah tugas TNI. Karena hal ini merupakan sikap anti demokrasi dan pelanggaran berat terhadap konstitusi. (*)