Jakarta, KPonline – “Saya sangat berharap isu yang beredar ini tidak benar dan Said Iqbal sudi mengklarifikasi,” demikian kata penulis yang berinisial “kl” dalam artikel berjudul “Pembodohan Publik Said Iqbal di Kompas terbongkar, Faktanya bikin merinding!” yang diterbitkan Hatree.net.
Sesuai dengan apa yang diminta “kl”, dalam kesempatan ini saya hendak melakukan klarifikasi. Namun, sebelumnya, penting untuk digarisbawahi, apa yang saya sampaikan ini bukan untuk pembelaan diri. Saya hanya ingin menjelaskan fakta yang sebenarnya.
Terkait dengan pernyataan saya di kompas.com mengenai upah rata-rata di ASEAN, data itu saya kutip dari buku Laporan Trend Sosial dan Ketenagakerjaan ILO 2014 – 2015 (halaman 28). Buku ini diterbitkan resmi oleh Kantor Perburuhan ILO Indonesia – Jakarta. Dalam bentuk soft copy, buku tersebut bisa diakses di situs ilo.org.
Dalam buku itu disebutkan, upah rata-rata di ASEAN sudah berkembang. Namun masih ada perbedaan besar. Sebagai contoh, pada tahun 2013, Republik Demokratik Laos memiliki upah rata-rata terendah di kawasan ini, yaitu USD 119. Sementara rata-rata pekerja di Singapura memperoleh upah sebesar USD 3,547 perbulan. Di antara kedua negara dengan tingkat perbedaan yang sangat besar ini, ada Kamboja (USD 121), Indonesia (174), Vietnam (USD 181), Filipina (USD 206), Thailand (USD 357), dan Malaysia (USD 609). Perbedaan besar dalam hal upah rata-rata antara negara-negara anggota ASEAN ini menujukkan adanya perbedaan besar dalam hal produktivitas pekerja – nilai tambah per pekerja, atau per jam kerja – serta kemampuan lembaga penetapan upah untuk mendukung perundingan bersama. Meskipun ini adalah data tahun 2013, tetapi hingga saat ini tidak berbeda jauh.
Sekali lagi, apa yang saya sampaikan adalah data resmi yang dilansir oleh sebuah organisasi yang memiliki kredibilitas bertaraf internasional: ILO. Lalu atas dasar apa “kl” mengatakan data-data dan komentar yang saya sampaikan sangat bodoh dan absurd? Dengan kata lain, “kl” (yang bahkan mencantumkan namanya sendiri saja tidak memiliki keberanian), sedang melecehkan organisasi internasional. Alih-alih menunjukkan data yang valid untuk membantah data yang dilansir ILO, dia justru tendensius dan menyerang secara pribadi.
Sementara itu, berdasarkan data perbandingan upah di Asia yang dirilis National Wages and Productivity Comission – Philippines, tahun 2015, upah minimum terendah di Indonesia ada di Jawa Tengah yaitu sebesar Rp. 1.100.000 dan yang tertinggi di Karawang Rp. 2.951.000 (US$ 227,00). Sementara itu, upah Malaysia sebesar Rp. 3.278.813 (US$ 237.94), Thailand sudah mencapai Rp. 3.661.070 (US$ 265.68). Di Filipina upah terendah adalah Rp. 2.386.420 (US$173.18) dan yang tertinggi adalah Rp. 4.397.887 (US$319.15). China, upah terendah adalah Rp. 1.866. 225 (US$ 135.430) dan tertinggi 4,397,887 (US$ 296.96). Sementara itu, Jepang mencapai 24.518.892 (US$ 1,779.31). Data ini bersumber dari http://www.nwpc.dole.gov.ph/ yang kami akses tanggal 17 November 2015, dimana saat itu kurs US$ 1 sama dengan Rp. 13.780.
Apakah masih kurang bukti bahwa upah buruh di Indonesia masih murah? Akan saya sampaikan satu lagi. Tidak usah memakai data saya. Kita menggunakan data Kemenaker, seperti yang dikutip Majalah Tempo Edisi 16 Oktober 2015. Disana disebutkan, bahwa orang yang menerima upah sama dengan atau lebih dari Rp 2 juta berjumlah 15 jutaan. Sementara itu, orang yang menerima upah kurang dari Rp 2 juta berjumlah 42 jutaan orang.
Sementara itu, rata-rata upah minimum secara nasional tahun 2015 berkisar Rp 1,85 juta – Rp 1,9 juta. Itu berarti, lebih dari 80% buruh Indonesia adalah penerima upah minimum. Dengan demikian, di Indonesia upah minimum bukan sebagai jaring pengaman (safety net) sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi upah minimum sudah menjadi upah standar yang diberikan oleh mayoritas perusahaan. Dengan kata lain, buruh yang bekerja 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun, bahkan 30 tahun, mayoritas dibayar upah minimum. Begitu pula buruh lajang, buruh yang beristri, buruh punya anak 1, punya anak 3, punya anak 5, mayoritas mereka dibayar upah minimum.
Mari kita lihat hitungan sederhana pengeluaran buruh dengan upah minimum di DKI Jakarta yang pada tahun 2015 sebesar Rp 2.700.000 per bulan. Untuk biaya makan @ Rp 12.000 x 3 x 30 hari sebesar Rp 1.080.000/bulan. Biaya transport (ke pabrik & kebutuhan sosial) sebesar Rp 600.000/bulan. Biaya sewa rumah adalah Rp 700.000/bulan. Sisanya, tinggal Rp 320.000/bulan.
Pertanyaannya, apakah untuk hidup layak di Jakarta cukup hanya dengan memegang uang Rp 320.000/bulan untuk beli pakaian, sepatu, air, jajan anak, biaya sekolah, beli pulsa dsb?
Itulah yang menjelaskan, mengapa kami selalu mengatakan upah buruh di Indonesia murah. Selain tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, dibandingkan dengan Negara lain pun masih lebih rendah kecil.
Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sangat mengesankan. Tahun 2010, ekonomi kita tumbuh 6,81%, tahun 2013 tumbuh 6,19%, tahun 2014 tumbuh 5,02% dan tahun 2015 tumbuh 4,79%. Meskipun tahun 2015 ekonomi sedang sulit, tetapi ekonomi Indonesia masih tumbuh. Bahkan nomor 5 di Asia Pacific. Ironisnya, meskipun ekonomi tumbuh, angka gini rasio juga semakin meningkat. Gini ratio adalah Angka gini ratio adalah untuk mengukur gap pendapatan terendah dan tertinggi.
Tahun 2010 hingga 2013, gini ratio di Indonesia hanya 0.38. Tahun 2014, naik, menjadi 0,41 dan pada tahun 2015 menjadi 0,42. Semakin besar gini ratio, berarti kesenjangan semakin melebar. BPS sendiri mengakui ketimpangan mendapatan semakin melebar. Seperti dikutip neraca.co.id, dari sisi pendapatan, masyarakat Indonesia terbagi atas 3 kelas. Kelas atas sebesar 20%, kelas menengah sebesar 40%, dan terbawah sebesar 40%. Pada 2005, kelas terbawah yang sebesar 40% itu menerima manfaat dari pertumbuhan ekonoami sebesar 21%, namun pada 2013 menurun menjadi 16,9%. Sementara untuk kelas atas, pada 2005 menerima 20% dan meningkat menjadi 49% dari PDB pada 2013.
“Artinya memang yang diterima orang kelas atas jauh lebih besar dari yang kalangan bawah. Sehingga kelas atas ekonominya naik sangat cepat dan kelas bawah juga naik, tapi lambat,” kata Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS Kecuk Suharyanto.
Data di atas menunjukkan, ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, pada saat yang bersamaan juga terjadi kesenjangan sosial yang semakin membesar. Si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Dengan kata lain, ekonomi yang tumbuh hanya dinikmati kalangan menengah atas saja. Kelas menengah bawah tidak mendapatkan apapun dari pertumbuhan ekonomi. Bahkan, menurut data World Bank, kelas menengah atas di Indonesia tumbuh hingga 107%. Singapura, bahkan hanya tumbuh 10%.
Tidak perlu mencari contah yang jauh. Lihatlah di depan mata. Penjualan apartemen laris manis. Siapa yang mampu membeli apartemen? Para kelas menengah atas.
Mengapa bisa terjadi demikian? Karena upah buruhnya masih murah. Jadi, sekali lagi “kl”, mohon melihat data yang disampaikan ILO di atas, agar tidak terus-menerus berhalusinasi. Itu ada data riset. Bukan saya yang mengeluarkan.
Saya sendiri berpendapat, upah murah menyebabkan daya beli melemah. Karena daya beli lemah, konsumsi akan turun. Ketika konsumsi menurun, maka pertumbuhan ekonomi juga akan kecil. Itulah yang menjelaskan, mengapa serikat buruh memperjuangkan kenaikan upah layak. Kita menginginkan daya beli ditingkatkan, agar pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada gilirannya nanti akan memperkecil angka gini ratio.
Mengenai upah Thailand, Malaysia dan Filipina yang tinggi, “kl” sendiri sudah menyampaikan: “Yang pertama harus dipahami adalah Indonesia terdiri dari banyak kota. Upah minimum tiap kota pun berbeda-beda. Tak perlu membandingkanya dengan negara lain, bandingkan saja Jakarta dengan Madura atau daerah lainnya, bedanya sangat-sangat jauh sekali. Jadi kalau rata-rata upah buruh di Indonesia kecil, ya wajar.”
Sampai disini, saya tidak akan menanggapi. Dia sendiri sudah mengakui, jika upah buruh di Indonesia kecil. Lalu bagaimana dengan Singapura? Upah mínimum tertinggi di Indonesia, katakanlah di DKI Jakarta sebagai ibukota Negara, masih kalah dengan upah terendah di negara Singa itu. Ini fakta. Jadi alasan apa lagi yang digunakan untuk mengatakan di Indonesia upahnya sudah terlalu tinggi?
Sekali lagi, mari berbicara dengan data. Lihat data ILO di atas. Jangan melakukan segala cara hanya untuk mempertahankan agar upah di Indonesia tetap murah. Bagaimanapun, buruh juga berhak hidup layak dan sejahtera. Anak-anak buruh juga ingin bersekolah tinggi. Bukan hanya kalian saja yang ingin hidup sejahtera dan berkecukupan.
“Kita tidak bisa menyamakan upah buruh Jakarta dan Madura,” kata “kl”, dalam bagian yang lain.
Saya hendak balik bertanya. Apa bedanya kebutuhan hidup di Madura, Semarang, Batam, Ternate, dan kota-kota lain di Indonesia? Tidak berbeda jauh. Tetapi mengapa perbedaan upahnya bisa mencapai 50 persen? Justru, kekeliruan seperti inilah yang harus kita luruskan. Bukan malah dibiarkan.
Saya pribadi tidak masalah mereka mengatakan saya sebagai setan sekalipun. Atau, “kl” menjuluki saya KPBI (Ketua Provokator Buruh Indonesia). Saya tidak peduli. Satu-satunya yang saya peduli adalah tentang keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan. Kaum buruh dan rakyat Indonesia tidak boleh lagi dimiskinkan terus-menerus.
Jadi, kepada “kl”, begitulah seharusnya jika anda hendak menganalisasi ekonomi. Saya sih bukanlah orang yang ahli dalam hal ekonomi. Meskipun demikian, saya berusaha untuk belajar mengenai hal ini. Oleh karena, anda hendak menyampaikan argumentasi yang berbeda, jangan tendesius, menyebar fitnah, menyerang pribadi, dan mengecilkan peran serikat pekerja.
Jika “kl” bekerja dan memiliki istri, saran saya, tanyakan ke istri anda? Siapakah yang memperjuangkan cuti melahirkan bagi perempuan? Yang memperjuangkan itu adalah serikat pekerja, yang perannya kamu kecilkan itu.
Siapa yang memperjuangkan cuti 12 hari, bahkan memperjuangkan jam kerja menjadi 8 jam dalam sehari? Serikat pekerja yang kamu hina-hina itu.
Siapakah yang memperjuangkan jaminan sosial, yang kini jaminan kesehatan dan jaminan pensiun menjadi wajib? Lagi-lagi, serikat bekerja. Semua itu bukanlah pemberian gratis dari pengusaha dan pemerintah. Itu adalah perjuangan serikat buruh bersama-sama element gerakan sosial yang lain.
Iuran Serikat Pekerja
Dari upah, kemudian “kl” bicara tentang iuran serikat pekerja. Dengan senang hati, saya hendak menjelaskannya.
Mengenai iuran serikat pekerja, saya membenarkan jika iuran anggota FSPMI-KSPI adalah sebesar 1 persen dari upah. Dari jumlah itu, 60% dipergunakan untuk tingkat basis (perusahaan). Sedangkan 40% adalah yang didistribusikan di perangkat organisasi.
Sebagai contoh, penerimaan organisasi FSPMI selama tahun 2015 (dari 40% tersebut) adalah sebesar Rp. 20.021.057.944 atau setara dengan 1,73 milyar per bulan. Dana itu digunakan untuk untuk pembiayaan operasional di tingkat pusat, tingkat wilayah di 14 Provinsi, dan tingkat cabang di 92 Kab/Kota di seluruh Indonesia. Besar yang didistribusikan untuk wilayah dan cabang sekitar 40%, atau kurang lebih sebesar 8,3 milyar per tahun. Dana ini digunakan untuk sewa kantor, ATK, listrik, air, telpon, dan sebagainya.
Kemudian, untuk advokasi di seluruh Indonesia sebesar 15%, yang digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap anggota, baik litigasi maupun non litigasi, seperti di kriminalisasi, dituntut secara perdata, di PHK, dan sebagainya.
Ada juga pos anggaran untuk pendidikan anggota di seluruh Indonesia yang besarnya mencapai 20%. Pendidikan ini meliputi, pendidikan Organizer, cara membuat PKB, teknik berunding, pendidikan advokasi, K3, negoisasi, dan sebagainya.
Selain itu, juga ada honorarium untuk 127 orang staff dan pengurus full timer organisasi di seluruh Indonesia yang besarnya mencapai 12%, dan sisanya untuk operasional organisasi. Untuk para staff, karena mereka bekerja penuh waktu untuk organisasi, kami tidak ingin memberikan honor dibawah UMK. Bahkan ada diantara mereka, khususnya staff senior yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun, honor yang mereka terima diatas honor yang saya terima sebagai Presiden FSPMI. Mereka juga mendapatkan jaminan kesehatan. Pada prinsipnya, kami tidak ingin mendzalimi staff organisasi.
Mau tahu berapa honor saya? Tahun 2015, saya mendapatkan honor sebesar 6 juta dari serikat pekerja. Itu sebagai pengganti transportasi dan makan. Hingga saat ini, saya masih aktif sebagai pekerja di sebuah perusahaan ternama. Jadi tidak menggantungkan hidup dari organisasi.
Seluruh serikat buruh di dunia melakukan pungutan iuran dari anggotanya. Mereka bahkan sangat mandiri dalam hal pendanaan. Sebagai contoh, FNV – Belanda, misalnya. Per tahun, mereka bisa mengumpulkan iuran dari anggota mencapai 40-an milyar per bulan. Melalui iuran inilah serikat buruh bisa menjalankan roda organisasi. Kita tidak minta bantuan dari pengusaha atau dari pemerintah.
Kekuatan buruh pada dari iuran, bukan dari bantuan.
Sebagai pertanggungjawban, seluruh keuangan di organisasi kami diaudit. Baik oleh auditor internal maupun auditor eksternal. Internal auditor berasal dari dalam serikat pekerja kami sendiri, sementara auditor eksternal berasal dari akuntan publik yang sudah terakreditasi. Perlu diketahui, setiap tahun kami di audit, yang hasilnya kami laporkan ke masing-masing cabang melalui mekanisme Rapat Pimpinan (Rapim) yang biasanya diselenggarakan setiap bukan Februari. Sementara dalam Kongres, yang diadakan setiap 5 tahun sekali, kami melaporkan kepada seluruh anggota.
Ini sudah kami lakukan sejak 10 tahun yang lalu. Tanpa dikasih tahu pun, prinsip profesionalitas dan transparansi dalam penggunaan keuangan ini sudah kami terapkan.
Pertanyaannya kemudian, jika anggota serikat saja tidak ada yang protes dengan sistem iuran ini, mengapa orang-orang seperti “kl” justru mencurigai uang tersebut digunakan untuk memperkaya para elit organisasi? Jangan-jangan, “kl” memang terbiasa seperti itu. Sehingga setiap orang dianggapnya sama dengan dirinya. (*)