Tahun 2025 seharusnya menjadi tahun pemulihan bagi Indonesia pasca-pandemi, dengan janji-janji besar dari pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat. Namun, bagi jutaan buruh Indonesia, tahun ini justru menjadi catatan kelam yang penuh gejolak, protes, dan kekecewaan. Dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga krisis hak asasi manusia (HAM) bagi buruh migran, 2025 menyajikan potret buram tentang ketenagakerjaan di negeri ini.
Editorial ini mencoba merangkum perjuangan buruh Indonesia sepanjang tahun, dengan harapan bahwa refleksi ini bisa menjadi pelajaran bagi tahun-tahun mendatang. Seperti yang sering dikatakan dalam gerakan buruh, “Buruh sedunia bersatulah!”—tapi di Indonesia, persatuan itu masih sering terhambat oleh kebijakan negara yang lebih memihak modal daripada tenaga kerja.
Krisis Buruh Migran: Jejak Gelap Migrasi di Tengah Rezim Ekonomi
Salah satu isu paling mencolok di 2025 adalah nasib buruh migran Indonesia, yang menjadi korban utama dari sistem migrasi yang rusak. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) merilis Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2025 pada 18 Desember, bertepatan dengan Hari Buruh Migran Internasional, dengan tema “Jejak Gelap Migrasi di Rezim Ekonomi: Jaringan Bisnis Perdagangan Orang dan Runtuhnya Hak Asasi di Era Krisis Iklim.” Laporan ini mengungkap bahwa sepanjang tahun, buruh migran tidak hanya menghadapi risiko struktural seperti perdagangan orang, kerja paksa, kekerasan, dan eksploitasi, tetapi juga kriminalisasi, sementara akses terhadap keadilan tetap sangat terbatas.
Menurut SBMI, aduan terbanyak datang dari korban yang dipaksa menjadi operator penipuan daring, mencapai 135 kasus, disusul oleh pekerja migran ilegal (PMI) yang terjebak dalam perdagangan orang. Krisis ini semakin parah akibat perubahan iklim, yang memaksa migrasi paksa dari daerah rawan bencana seperti banjir dan kekeringan di pedesaan Indonesia.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto, menegaskan bahwa migrasi buruh hari ini bukan lagi sekadar persoalan penempatan kerja, melainkan krisis HAM yang sistematis. Di tengah rezim ekonomi yang semakin bergantung pada jaringan bisnis global, negara tampak absen dalam memberikan perlindungan. Contohnya, kasus buruh migran di Taiwan dan negara-negara Timur Tengah yang mengalami eksploitasi seksual dan fisik, tanpa intervensi cepat dari pemerintah.Ini bukan isu baru, tapi di 2025, skalanya membengkak. SBMI mencatat bahwa pola berulang ini menunjukkan kegagalan sistemik, di mana buruh migran—mayoritas perempuan—menjadi komoditas dalam ekonomi jaringan yang gelap. Editorial ini menilai bahwa tanpa reformasi mendalam, seperti penguatan regulasi internasional dan pemberdayaan serikat buruh migran, tahun 2026 berpotensi lebih buruk, terutama dengan ancaman resesi global yang memicu lebih banyak migrasi paksa.
Gelombang Protes dan Tuntutan Buruh Domestik: Dari May Day hingga Demo Agustus
Di dalam negeri, 2025 adalah tahun di mana suara buruh bergema lebih kencang, tapi sering kali tak didengar. Dimulai dari peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) pada 1 Mei, ribuan buruh dari berbagai elemen seperti Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), Aliansi Perempuan Indonesia (API), dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) turun ke jalan.
Tuntutan utama meliputi penghapusan sistem outsourcing, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, realisasi upah layak, pengesahan RUU Perampasan Aset untuk koruptor, dan pembentukan Satgas PHK.Aksi ini berlanjut hingga Agustus, dengan protes massal pada 28 Agustus yang melibatkan puluhan ribu buruh di berbagai kota, termasuk Jakarta.
Di Batam, misalnya, tahun ini digambarkan sebagai “tahun gejolak” bagi buruh, dengan demo serentak membawa enam tuntutan: hapus outsourcing, tolak upah murah, kenaikan upah minimum 2026, pencabutan PP 35/2021, hentikan PHK dengan Satgas PHK nasional, serta reformasi pajak buruh.
Protes ini mencerminkan ketidakpuasan atas UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dianggap memihak pengusaha, dengan ketentuan outsourcing yang mempermudah PHK dan kontrak kerja sementara.
Buruh perempuan dan pekerja informal menjadi korban terbesar. API menyoroti bagaimana PHK massal memiskinkan keluarga, dengan buruh perempuan paling terdampak. Di sektor tambang dan perkebunan sawit, tuntutan keselamatan kerja (K3) dan upah adil semakin mendesak, sementara ratifikasi Konvensi ILO-190 tentang kekerasan di tempat kerja masih tertunda.
, menuntut kenaikan upah dan perlindungan regional.
Dampak Ekonomi: PHK Massal dan Kualitas Pekerjaan yang Rendah
Ekonomi Indonesia di 2025 memang mencatat rekor penciptaan lapangan kerja, dengan hampir 5 juta posisi baru pada 2024 saja, tapi cerita di baliknya adalah kuantitas bukan kualitas. Sebagian besar pekerjaan informal, rendah upah, dan tidak aman. Badai PHK belum usai: sebanyak 79.302 pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang tahun, dengan Menteri Keuangan menegaskan tak ada stimulus tambahan.
Hiruk-Pikuk Penetapan UMK 2026: Formula Baru yang Memanaskan Jalanan
Menjelang akhir tahun, isu upah mencapai puncaknya dengan hiruk-pikuk penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026, yang menjadi salah satu sorotan paling panas di Desember 2025. Pemerintah menerbitkan PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan, yang mengatur formula baru kenaikan upah minimum: Inflasi + (Alpha × Pertumbuhan Ekonomi), dengan nilai Alpha berkisar 0,5 hingga 0,9.
Formula ini mulai berlaku untuk UMP dan UMK 2026, dengan gubernur wajib menetapkan paling lambat 24 Desember 2025.Reaksi serikat buruh langsung membara, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di bawah pimpinan Said Iqbal menjadi yang paling vokal.
KSPI dan Partai Buruh menolak proses penyusunan PP yang dianggap tidak partisipatif—hanya sosialisasi sepihak tanpa dialog mendalam—serta khawatir formula ini menghasilkan kenaikan rendah, rata-rata 4-7%, lebih kecil dari tuntutan mereka yang mencapai 8,5-15%. KSPI secara tegas mendesak penggunaan Alpha maksimal 0,9 untuk kenaikan lebih tinggi, dan mengancam aksi nasional bahkan mogok jika tuntutan diabaikan.Di berbagai daerah, demo bergelombang mewarnai Desember, dipimpin atau didukung KSPI: ribuan buruh di Karawang, Pati, Semarang, Bogor, Samarinda, Demak, Serang, Jawa Timur, dan Jawa Barat turun ke jalan, mengawal rapat Dewan Pengupahan hingga malam sebelum deadline.
Said Iqbal menginstruksikan aksi serentak di kantor gubernur mulai 23-30 Desember, dengan ancaman eskalasi ke Istana atau DPR jika gubernur menurunkan rekomendasi buruh. Contohnya, KSPI tuntut UMP Jakarta naik 6,9% jadi Rp5.769.137; di Karawang akhirnya disepakati 5,13% jadi Rp5.886.852 setelah dialog intens; sementara di Jawa Timur, KSPI protes keras karena proyeksi masih jauh dari KHL.
Pengusaha (Apindo) mendorong Alpha rendah untuk hindari PHK, tapi KSPI menegaskan formula baru masih memihak modal dan tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan tidak percaya akan protes besar, tapi kenyataan membuktikan sebaliknya—aksi KSPI memanaskan tripartit dan menjadi simbol perlawanan buruh di akhir 2025.
Di akhir tahun, isu upah menjadi sorotan. Kenaikan UMP/UMK 2026 diprotes buruh karena dianggap tidak mencerminkan upah layak serta daya beli pekerja yang tergerus inflasi dan biaya hidup. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) bahkan menggelar rapat nasional untuk membahas ketegangan buruh di tingkat ASEAN, menuntut kenaikan upah dan perlindungan regional, meski KSPI tetap menjadi yang paling militan.
Dampak Ekonomi: PHK Massal dan Kualitas Pekerjaan yang Rendah
Ekonomi Indonesia di 2025 memang mencatat rekor penciptaan lapangan kerja, dengan hampir 5 juta posisi baru pada 2024 saja, tapi cerita di baliknya adalah kuantitas bukan kualitas. Sebagian besar pekerjaan informal, rendah upah, dan tidak aman.
Badai PHK belum usai: sebanyak 79.302 pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang tahun—KSPI bahkan mencatat puluhan ribu di awal tahun saja—dengan Menteri Keuangan menegaskan tak ada stimulus tambahan.
Ini memperburuk tingkat pengangguran, yang mencapai 7,28 juta orang atau 4,76% pada Februari 2025.Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1% menjadi 4,7%, dengan IHSG anjlok 19,5%, rupiah melemah ke Rp16.640/USD, dan kemiskinan menyentuh 60,3% penduduk.
Investor asing hengkang: Yamaha dan Asian Paints keluar, LG batal investasi Rp130 triliun, sementara BYD dan VinFast terganggu oleh ormas. Di sektor sawit, PP 45/2025 tentang denda Satgas PHK mengancam kebangkrutan 235 perusahaan dan PHK massal 1,5 juta pekerja.Gerakan buruh, khususnya KSPI, dihadapkan pada jalan panjang membangun kekuatan politik alternatif di tengah arus neoliberal.
Protes mahasiswa dan buruh sejak Februari hingga September 2025 menunjukkan ketidakpuasan luas terhadap pemerintah.Tantangan Demokrasi dan Militerisme: Ancaman Baru bagi Gerakan BuruhTak hanya ekonomi, 2025 juga menyaksikan erosi demokrasi yang mengancam gerakan buruh. Pengesahan Revisi UU TNI dan pembahasan RUU Polri semakin membatasi ruang sipil.
Buruh tidak hanya dieksploitasi, tapi juga dihadapkan pada ancaman militerisme saat mengorganisir diri. Aliansi Gebrak dan KSPI menegaskan bahwa gerakan buruh harus tetap independen, bukan alat kekuasaan.Di Batam dan daerah industri lainnya, buruh menghadapi represi saat demo, sementara proyek strategis nasional (PSN) merusak lingkungan dan memaksa relokasi tanpa kompensasi. Ini memperburuk migrasi paksa akibat iklim, yang saling terkait dengan isu buruh.
Ini memperburuk tingkat pengangguran, yang mencapai 7,28 juta orang atau 4,76% pada Februari 2025.Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1% menjadi 4,7%, dengan IHSG anjlok 19,5%, rupiah melemah ke Rp16.640/USD, dan kemiskinan menyentuh 60,3% penduduk. Investor asing hengkang: Yamaha dan Asian Paints keluar, LG batal investasi Rp130 triliun, sementara BYD dan VinFast terganggu oleh ormas.
Di sektor sawit, PP 45/2025 tentang denda Satgas PHK mengancam kebangkrutan 235 perusahaan dan PHK massal 1,5 juta pekerja.Gerakan buruh dihadapkan pada jalan panjang membangun kekuatan politik alternatif di tengah arus neoliberal.
Protes mahasiswa dan buruh sejak Februari hingga September 2025 menunjukkan ketidakpuasan luas terhadap pemerintah.
Tantangan Demokrasi dan Militerisme: Ancaman Baru bagi Gerakan Buruh
Tak hanya ekonomi, 2025 juga menyaksikan erosi demokrasi yang mengancam gerakan buruh. Pengesahan Revisi UU TNI dan pembahasan RUU Polri semakin membatasi ruang sipil. Buruh tidak hanya dieksploitasi, tapi juga dihadapkan pada ancaman militerisme saat mengorganisir diri. Aliansi Gebrak menegaskan bahwa gerakan buruh harus tetap independen, bukan alat kekuasaan.
Di Batam dan daerah industri lainnya, buruh menghadapi represi saat demo, sementara proyek strategis nasional (PSN) merusak lingkungan dan memaksa relokasi tanpa kompensasi. Ini memperburuk migrasi paksa akibat iklim, yang saling terkait dengan isu buruh.
Menuju 2026 dengan Persatuan dan Reformasi
Tahun 2025 adalah tahun di mana buruh Indonesia berjuang tanpa henti, tapi sering kali sia-sia. Dari migrasi gelap hingga PHK massal, ditambah hiruk-pikuk UMK 2026 yang memicu demo di akhir tahun, catatan ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi kelas pekerja. Namun, ada harapan: gelombang protes menandakan kebangkitan solidaritas, seperti seruan #KitaKelasPekerja dan #BuruhPerempuanMelawan.
Pemerintah harus mendengar: cabut kebijakan anti-buruh, sahkan RUU pro-pekerja, dan prioritaskan kesejahteraan. Jika tidak, 2026 berpotensi menjadi tahun konflik lebih besar. Seperti kata pepatah buruh, “Hari ini bukan sekadar libur; ia adalah bulan perlawanan.” Mari kita akhiri tahun ini dengan komitmen: buruh Indonesia pantas lebih baik.