Jaminan Pensiun , Harapan dan Realita

masa tua bahagia ( image : ww.bankonyourself.com)

Jakarta, KPonline – Lahirnya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), 28 Oktober 2011, menjadi angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia. Buruh sebagai lokomotif utama yang mendorong pemerintah mengesahkan UU BPJS ikut merayakan peristiwa bersejarah ini. Era baru Indonesia yang lebih bermartabat sudah dimulai.

Pasalnya kehadiran UU BPJS menandakan untuk pertama kalinya republik ini memiliki sistem jaminan sosial yang memadai dan diharapkan mampu melindungi segenap tumpah darahnya. Wajar jika rakyat (termasuk buruh) berharap banyak pada UU BPJS.

Bacaan Lainnya

UU BPJS mengamanatkan berdirinya BPJS Kesehatan (transformasi PT. Askes) maupun BPJS Ketenagakerjaan (transformasi PT. Jamsostek) untuk mengelola jaminan sosial di tanah air. Dengan pembagian tugas BPJS Kesehatan melayani masalah jaminan kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melayani Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakan Kerja (JKK) dan Jaminan Hari Tua (JHT).

Pada edisi ini, editorial KP tidak membahas masalah jaminan kesehatan namun fokus kepada jaminan pensiun. Bukan karena jaminan kesehatan tidak penting, namun karena batas waktu dimulainya jaminan pensiun sudah didepan mata, maka editorial KP mencoba melihat sejauh mana peluang jaminan pensiun ini terwujud.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang Direktur BPJS Ketenagakerjaan mengatakan kehadiran program pensiun wajib oleh BPJS Ketenagakerjaan diharapkan mampu meningkatkan peringkat keamanan pen¬siun Indonesia yang pada 2014 menem¬pati posisi ke-92 di dunia.

Jelas peringkat tersebut masih berada jauh di bawah Vietnam dan Malaysia yang ukuran ekonominya masih lebih kecil diban¬dingkan Indonesia. Transformasi dan imple¬mentasi BPJS Ketenagakerja diharapkan banyak pihak mam¬pu meningkatkan peringkat keamanan sosial dan ekonomi sekaligus kualitas hidup rakyat Indo¬nesia.

Namun melihat kondisi terakhir, mungkin harapan tersebut bisa jadi hanya impian belaka. Keinginan pemerintah yang mengusulkan iuran jaminan pensiun hanya 8 persen (pekerja 3 persen dan pengusaha 5 persen) dengan manfaat pensiun hanya 25 persen upah sangat kontra produktif dari harapan diatas.

Sebagai contoh, Vietnam saja menerapkan iuran pensiunnya 20 persen dan Malaysia lebih tinggi lagi, yaitu 24 persen. Jika kedua Negara tersebut berani menerapkan iuran pensiun hingga 20 hingga 24 persen, menjadi aneh jika pemerintah kita mengusulkan 8 persen. Padahal kedua Negara tersebut ukuran perekonomiannya masih dibawah Indonesia.

Belum lagi jika dibandingkan dengan Negara China yang mencapai 20 persen dan semuanya dibayarkan oleh pengusaha. Wajar, jika banyak yang mensinyalir keinginan pemerintah tersebut semata-mata hanya ingin menyenangkan keinginan segelintir pengusaha (banyak juga aparat pemerintah yang menjadi pengusaha).

Jika demikian Editorial KP berpendapat, jika ingin jaminan pensiun bisa terlaksana, tidak ada jalan lain selain buruh harus bersatu. Buruh harus merapatkan barisan. Menjelang 1 Juli 2015, buruh harus memberikan tekanan kepada pemerintah untuk melaksanakan jaminan pensiun dengan sepenuh hati, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.

Inilah harapan dan realita. Tanpa kekuatan buruh bersatu, mustahil bangsa ini bisa berharap memiliki sistem jaminan sosial yang mampu melindungi segenap tumpah darahnya. Sepertinya hanya buruh yang peduli akan kesejahteraan rakyat Indonesia, apakah sudah saatnya buruh berkuasa? “Allahua’lam bissawab”. *Red*

Pos terkait