Jakarta, KPonline — Dalam konsolidasi nasional dan partai Buruh, pentingnya perhatian khusus terhadap pekerja perempuan dalam revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Wakil Presiden DPP FSPMI Bidang Pendidikan, Nani Kusmaeni, menyoroti berbagai bentuk diskriminasi yang masih dialami oleh pekerja perempuan, termasuk kesenjangan upah, kekerasan berbasis gender, serta kebijakan perpajakan yang tidak adil. Rabu, (14 Mei 2025).
Salah satu isu utama yang disorot adalah kebijakan pajak penghasilan yang dinilai diskriminatif terhadap pekerja perempuan. Perempuan yang sudah menikah namun suaminya tidak berpenghasilan tetap tetap dikategorikan sebagai lajang, sehingga dikenai pajak lebih tinggi dan kehilangan tunjangan keluarga. Hal ini dinilai sebagai bentuk kekerasan struktural berbasis gender.
“Status perempuan dianggap lajang adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Ini harus dihapus dalam regulasi yang baru,” tegas Nani Kusnaeni.
FSPMI juga mencatat bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing masih banyak menjebak perempuan dalam situasi kerja yang tidak layak dan tanpa perlindungan. Upah yang lebih rendah, ketiadaan hak cuti melahirkan, dan sulitnya akses ke serikat pekerja menjadi tantangan serius yang dihadapi.
Isu-isu ini mengemuka dalam Konsolidasi Nasional dan partai Buruh, yang digelar menjelang pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan. Dalam forum ini, berbagai serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil menyatukan suara untuk mendorong perlindungan komprehensif bagi pekerja perempuan.
Tidak hanya melalui jalur gerakan, perjuangan ini juga dibawa ke ranah politik oleh Partai Buruh, yang turut hadir dan menyuarakan perlunya kebijakan afirmatif bagi perempuan pekerja. Partai Buruh berkomitmen memperjuangkan regulasi baru yang lebih adil dan setara gender, baik di parlemen maupun dalam perundang-undangan turunan.



