Medan, KPonline – Mereka menyebut buruh, petani, dan nelayan sebagai pahlawan ekonomi. Gelar mulia yang hanya manis di pidato, basi di lapangan. Di dunia nyata, buruh terus diperas, petani dipaksa mandiri tanpa alat, dan nelayan dibiarkan bertarung sendirian melawan laut dan mafia.
Pemerintah Negeri ini sangat gemar menyuruh rakyatnya “mandiri”. Tapi ironisnya, tidak pernah benar-benar menyediakan alat untuk itu. Buruh diminta produktif, tapi upahnya disunat lewat regulasi yang dibungkus jargon investasi.
Petani dituntut swasembada, tapi pupuk subsidi lenyap seperti hantu. Nelayan diminta menjaga laut, namun izin kapal-kapal besar dari luar negeri justru digelontorkan tanpa malu.
BURUH ROBOT TANPA TOMBOL MOGOK.
Buruh hari ini tak ubahnya robot yang terus dipaksa bekerja dengan upah minimum, bahkan masih banyak buruh yang upahnya dibayar di bawah upah minimum.
Ketika kaum buruh berbicara soal hak, dituduh sebagai pengganggu iklim usaha. Saat kaum buruh melakukan aksi mogok, aparat berseragam dan bersenjata datang mengawal. Sebagian dikriminalisasi, ditangkap, bahkan dipenjara.
Pemerintah tampaknya kehilangan ingatan bahwa tak ada produksi tanpa buruh. Pabrik akan sunyi tanpa suara mesin. Jalanan akan kosong dari deru truk pengangkut barang. Tapi ketika perusahaan meraup untung, yang diundang makan malam adalah para elit dan pemilik modal, sementara kaum buruh hanya dapat kata motivasi dari HRD perusahaan dan potongan pajak yang terus bertambah.
PETANI PENANAM HARAPAN,PEMANEN KESENGSARAAN.
Keberadaan petani adalah ironi yang hidup. Menanam makanan untuk satu bangsa, tapi sering tak sanggup membeli hasil tanamnya sendiri. Harga bibit melambung, pupuk mahal dan langka, hasil panen dibeli murah. Saat gagal panen, petani menanggung sendiri kerugiannya. Pemerintah? Hadir hanya di selebaran dan baliho.
NELAYAN PENJAGA LAUT YANG DIUSIR DARI LAUTNYA SENDIRI
Nelayan seharusnya menjadi penjaga kedaulatan laut. Tapi laut mereka perlahan dirampas oleh kapal-kapal besar bersenjata teknologi. Sementara nelayan kecil bertahan dengan jaring tradisional dan perahu tua. Ikan berlimpah, tapi mereka tetap miskin. Siapa yang menikmati hasil laut, tentunya para elit dan kaum amtenar di meja pesta. Nelayan hanya mendapatkan sisa, dan utang dari tengkulak.
BURUH, PETANI DAN NELAYAN, PILAR KUAT YANG TERUS DIROBOHKAN.
Buruh, petani, dan nelayan bukan tak ingin sejahtera. Tapi mereka dihadapkan pada sistem yang sengaja dibuat agar mereka tetap tertindas dan hidup miskin.Mereka terus disuruh menyangga ekonomi nasional, tapi tak pernah diajak duduk dalam perundingan arah bangsa.
Bayangkan jika suatu hari buruh berhenti bekerja, petani berhenti menanam, dan nelayan berhenti melaut. Maka lumpuhlah ekonomi yang selama ini diagung-agungkan itu. Tapi selama mereka diam, para elit dan kaum amtenar akan terus berpesta serta bersulang, dan rakyat akan terus dibungkam dengan kata-kata klise: “Sabar, ini demi pertumbuhan.”
Pertumbuhan apa? dan untuk siapa?