Jakarta, KPonline – Jika sedang ke Jakarta, Trans Jabodetabek hampir selalu menjadi andalan saya. Rutenya, Balaraja – Grogol. Naik kendaraan ini, seringkali saya berhenti di halte Taman Anggrek, untuk kemudian berganti Trans Jakarta.
Duduk di dalam kendaraan seperti ini, bagi saya adalah waktu untuk melakukan kontemplasi. Seringkali saya memejamkan mata. Menyandarkan kepala. Mendengarkan nada-nada yang ada di dalam jiwa.
“Sehari bisa bolak-balik tiga hingga lima kali.” Saya mendengar dia sedang menjawab pertanyaan yang ada di bangku depan.
Owh. Suara sopir itu. Sudah tidak lagi muda. Tetapi dari nada kalimatnya, ia menyimpan energi yang besar.
“Anak saya menyuruh berhenti. Tetapi badan saya sakit semua kalau tidak kerja.” Lagi. Kalimat yang heroik itu.
Saya sering mendengar kalimat senada. Orang-orang yang menolak dianggap lemah. Orang-orang yang masih bertenaga di usia senja.
Kemarin, misalnya, saya baru saja ke rumah Babe Ridwan. Dia adalah fotografer senior di Media Perdjoeangan.
Kami berbincang banyak hal. Hingga kemudian, dia mengungkapkan ini: “Saya tersinggung kalau pas memegang kamera video ada yang mau menggantikan. Saya masih kuat. Sehat. Nggak mau saya dikasihani.”
Saya tertawa mendengarnya. Membenarkan ucapannya.
Di titik ini saya menyadari satu kalimat yang fenomenal itu. Lebih baik capek karena kerja, daripada capek mencari kerja.
Kaum buruh adalah pertarung. Bagaimana dia melawan lelahnya. Mengabaikan resahnya. Untuk kemudian terus bekerja. Bahkan di usia yang senja.
“Meski hanya jadi sopir, syukur alhamdulilah anak-anak semuanya bisa sekolah.” Sopir di depan kembali bersuara.
Saya membuka mata. Jalanan macet. Baru sampai di rest area Karangtengah.
Saya tak berani mengeluh. Toh saya masih bisa menyandarkan kepala sambil memejamkan mata. Sementara pak tua itu, bahkan lima kali melintasi jalanan ini untuk merasakan kemacetan yang sama.
Kalimatnya barusan mengingatkan saya tentang makna perjuangan. Ini bukan semata-mata tentang kita. Tetapi juga tentang generasi yang akan lahir esok hari.
Tidak apa-apa kita berlelah-lelah sekarang. Asalkan anak-anak kita tidak bernasib sama dengan kita. Barangkali, pesan itulah yang hendak disampaikan pak sopir yang saban hari harus bergelut dengan kemacetan Jakarta.