Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN): Jika Transaksi Rupiah Ditiadakan, Itu Melawan Hukum

Jakarta, KPonline – Seperti diketahui, pada 31 Oktober tidak ada lagi transaksi tunai di jalan tol. Semua transaksi wajib menggunakan kartu elektronik (e-toll), dan menolak untuk melakukan transaksi secara tunai.

Menanggapi kebijakan ini, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ardiansyah meminta agar transaksi tunai tidak menghilangkan.

Menurut Ardiansyah, penolakan transaksi tunai ini justru terancam bisa dipidanakan karena masih dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.

“Apabila ada yang melakukan penolakan terhadap transaksi Rupiah itu diancam pidana. Jadi bagaimana mungkin transaksi Rupiah ditiadakan, itu melawan hukum. Sebagaimana diatur di UU itu. Itu pidana dan ancamannya denda Rp200 juta . Jangan peraturan bisa menabrak peraturan lain, apalagi undang-undang,” ujarnya di Kantor BPKN, Kementerian Perdagangan, Jakarta, sebagaimana diberitakan okezone.com, Jumat (22/9/2017), .

Oleh karena itu, pembayaran tol tetap harus ada yang melakukan tunai menggunakan uang kertas dan logam karena itu masih pembayaran yang sah. Ini bukan berarti mewajibkan pembayaran tunai, tapi tetap di dalam transaksi tol harus ada pembayaran yang bisa diakses dengan tunai.

Ardiansyah menegaskan, BPKN mendukung penuh pelaksanaan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) direalisasikan, namun tetap tidak menghilangkan transaksi tunai.

Apa yang disampaikan BPKN sejalan dengan pandangan serikat pekerja.

Sebelumnya, serikat pekerja menilai, e-money bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), dimana disebutkan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia adalah rupiah, dengan ciri-ciri yang juga telah diatur dalam UU Mata Uang.

Transaksi melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki e-Toll Card, padahal fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.

Dalan Pasal 23 Undang-Undang tentang Mata Uang menyatakan, bahwa “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI”.

Dalam UU Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima Rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah (Pasal 33 ayat 2). Bahkan apabila dilakukan oleh korporasi, pidana dendanya ditambah 1/3 dari denda maksimum, penyitaan harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan ijin usaha (Pasal 39 ayat 1).

Dengan adanya GTO 100%, akibatnya masyarakat tidak lagi mempunyai pilihan. Bahkan ketika masyarakat memiliki rupiah, tetap saja rupiah yang mereka miliki tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran.