Jakarta, KPonline – Jika internet adalah medan pertempuran, maka tulisan, video, dan gambar adalah senjata andalan.
Saya kira, di era internet ini, gerakan harus menyesuaikan diri. Harus ada cara baru di era yang baru.
Kita belajar dari banyak peristiwa. Siapa yang gagal beradaptasi akan punah.
Serikat tidak bisa menggunakan cara-cara lama dalam melakukan advokasi, pengorganisasian, termasuk pendidikan.
Akhir-akhir ini, misalnya, kita sering mendengar istilah aksi virtual. Memanfaatkan media sosial dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam konteks itu, aksi media pun bisa dimaknai sebagai bagian dari unjuk rasa. Demonstrasi.
Begitu pun dalam pengorganisasian. Melalui kampanye bermartabat dengan serikat, banyak yang kemudian mengirimkan pesan dan menanyakan bagaimana caranya bergabung dalam serikat pekerja.
Cara kita mempertemukan buruh dengan serikat bisa dibuat lebih kreatif lagi.
Dalam konteks pendidikan, melalui internet, kita bisa menjangkau lebih banyak orang untuk terlibat di dalamnya.
Apakah cara-cara ini efektif? Saya kira efektif.
Beberapa waktu lalu, kita mendengar kabar dari Sumatera Utara perihal oknum polisi koboi yang menodongkan pistol ke buruh yang sedang melakukan unjuk rasa di perusahaannya. Setelah viral, si oknum diperiksa Propam dan meminta maaf.
Selain itu, ada kasus buruh di Subang yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari TKA. Setelah viral, si TKA diberhentkkam dan dipulangkan ke negara asal.
Ini adalah sebagian dari keberhasilan gerakan buruh dalam memaksimalkan aksi virtual.
Saya percaya, jika aksi virtual ini kita perbaiki kualitas maupun kuantitasnya, akan ada manfaat yang akan kita dapatkan.
Menjadi pengurus serikat pekerja di era sekarang ini harus memahami cara berkomunikasi di sosial media. Dunia memang sedang bergerak ke sana. Kita tidak boleh menutup mata.