Gerakan Nasional Non Tunai Dinilai Langgar UU Mata Uang

Jakarta, KPonline – Selain ancaman PHK massal di berbagai sektor industri, Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia juga menilai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) bertentangan dengan UU Mata Uang dan UU Perlindungan Konsumen.

Presiden Aspek Indonesia yang juga Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, Mirah Sumirat membeberkan, beberapa fakta yang dapat menjadi alasan masyarakat pengguna jalan tol untuk menolak pemberlakuan Gardu Tol Otomatis (GTO) di seluruh jalan tol.

Pertama, GTO telah membuat rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, menjadi tidak berlaku. Hal ini bertentangan dengan UU 7/2011 tentang Mata Uang, di mana disebutkan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia adalah rupiah.

Kedua, transaksi melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki e-Toll Card. Padahal, fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.

Ketiga, pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang mengatur bahwa rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keempat, pasal 23 UU Mata Uang menyatakan bahwa ‘setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI.

Kelima, dalam UU Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah (Pasal 33 ayat 2). Bahkan apabila dilakukan oleh korporasi, pidana dendanya ditambah 1/3 dari denda maksimum, penyitaan harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan ijin usaha (Pasal 39 ayat 1).

Mirah juga mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-toll, tanpa sadar sesungguhnya telah “diambil paksa” uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu e-toll.

Mirah mencontohkan, apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp 50 ribu sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp 30 ribu.”Ke mana selisih uang yang Rp 20 ribu?” kritiknya.

Belum lagi dana saldo e-toll yang mengendap di bank karena tidak dipergunakan oleh pemilik kartu, yang kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya. “Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem 10 persen GNNT dan GTO ini?” Mirah, menekankan.

Maka itulah, Aspek Indonesia meminta kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera menghentikan GNNT /less cash society yang dicanangkan oleh Bank Indonesia. Termasuk, segera menghentikan pembangunan 100 persen GTO, yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh PT Jasa Marga dan perusahaan jalan tol lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *