Viral itu Cuan, Ketika Kebijakan Upah Jadi Panggung Media Sosial

Viral itu Cuan, Ketika Kebijakan Upah Jadi Panggung Media Sosial

Di suatu negeri, sebut saja negeri merdeka yang denyut digitalnya kian cepat dari detak jantung, kebijakan publik bukan lagi sekadar soal aturan dalam regulasi. Ia berubah menjadi tontonan, viral, dan yang lebih memprihatinkan cuan.

Dahulu pemimpin daerah di negeri merdeka itu diukur dari keberhasilan nyata di lapangan, kini popularitas sering kali ditimbang dari jumlah likes, shares, dan komentar pedas yang memenuhi kolom komentar. Ketika kebijakan publik seperti upah minimum disajikan sebagai konten yang viral dan menghasilkan cuan bagi yang membuatnya, apakah itu rezeki atau bahaya laten demokrasi publik?

Media sosial telah berubah menjadi arena baru pembentukan opini publik. Dalam banyak kasus, isu sosial ekonomi mulai dari ketimpangan hingga kebijakan kesejahteraan bukan hanya dibicarakan, tetapi juga dikemas sedemikian rupa agar menarik bagi algoritma platform digital.

Konten isu ketimpangan sosial seringkali menjadi viral dengan cepat, meski dibungkus humor sekalipun, karena menyentuh realitas pahit yang dialami banyak warga. Media sosial menjadi ruang kritik yang efektif, dan bagi sebagian kepala daerah, ini adalah alat untuk branding diri.

Dalam konteks pemerintahan daerah di negeri merdeka, ada fenomena dimana kepala daerah tampil bak influencer: video sidak yang dramatis, pernyataan pedas di depan kamera, bahkan komentar serius tentang isu ekonomi yang kemudian jadi viral. Fenomena ini disebut politik viralisme, strategi komunikasi politik yang mengandalkan efek viral demi membangun popularitas jangka pendek, bukan menyelesaikan persoalan struktural seperti pengangguran, kemiskinan, atau daya beli masyarakat.

Layaknya panggung sandiwara modern, kepala daerah di negeri merdeka itu kini dipaksa menari mengikuti melodi media sosial. Tetapi apabila narasi itu hanya dipoles demi cuan, dengan sorotan kamera tanpa strategi kebijakan yang jelas, apa artinya popularitas? Ketika konten viral jadi ukuran kinerja, rakyat seringkali hanya menjadi statistik dalam algoritma. Sosial media bisa memperkuat suara publik, tetapi ia juga bisa meredupkan realitas jika tidak diimbangi implementasi yang substansial.

Pertimbangkan fenomena viral-based policy: sebuah kebijakan yang lahir atau berubah bukan karena kajian mendalam dan proses partisipatif, tetapi karena tekanan dan viralitas isu di media sosial. Ini menunjukkan pengaruh luar biasa media sosial terhadap pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik, tetapi juga mengandung risiko distorsi terhadap proses demokrasi yang ideal.

Bayangkan sebuah kebijakan upah minimum yang diumumkan dengan dramatis di TikTok atau X, lengkap dengan narasi heroik sang kepala daerah. Puluhan ribu likes dan komentar pujian mungkin mengikuti, bahkan monetisasi algoritma dapat mendatangkan keuntungan bagi pembuat konten yang kebetulan juga adalah pembuat kebijakan itu sendiri.

Bagi pembuat konten dan juga pembuat kebijakan, itu bisa terasa rezeki yang luar biasa karena perhatian tinggi publik, popularitas, elektabilitas meningkat. Tetapi bagaimana dengan mereka yang menjadi subjek dari kebijakan itu, pekerja atau buruh yang menanti keadilan upah? Jika implementasi kebijakan tersebut tidak mengubah realitas kesejahteraan mereka, maka viralitas hanyalah ilusi kebaikan. Ini bukan sekadar narasi estetis; hal ini berujung pada kedzoliman komunikasi publik ketika sensasi lebih penting daripada substansi.

Kebijakan upah yang dipolitisasi dan diproduksi sebagai konten menarik di platform digital rentan terhadap instrumentaliasi. Seperti disebut oleh analis sosial, diskresi dalam menentukan upah minimum rentan dipolitisasi oleh pemerintah daerah bila digunakan tidak untuk kesejahteraan masyarakat tetapi untuk pencitraan politik semata. Dalam konteks ini, kebijakan bukan lagi instrumen keadilan ekonomi, melainkan alat pencitraan yang siap tayang di feed publik.

Namun kita juga tidak bisa menutup mata pada sisi positif media sosial sebagai ruang partisipasi publik. Viralitas isu dapat membuka ruang bagi suara yang selama ini terpinggirkan. Misalnya, konten pekerja yang menunjukkan realitas gaji tak dibayar atau kondisi kerja buruk yang tadinya tidak terdengar. Konten semacam ini dapat memaksa pejabat publik untuk merespons, bahkan mendorong transparansi yang lebih besar dalam pelayanan publik. Tetapi sekali lagi, ini hanya efektif jika diikuti oleh tindakan yang nyata, bukan hanya janji di kolom komentar.

Akhirnya, kita harus bertanya: apakah likes dan views boleh menjadi ukuran keberhasilan kebijakan? Rakyat butuh lebih dari sekadar hiburan digital. Mereka membutuhkan kebijakan yang memperbaiki kehidupan mereka sehari-hari dengan upah yang layak, lapangan kerja yang adil, dan kesempatan yang merata. Viral itu boleh, asal ia menjadi alat yang memaksa kebijakan menjadi lebih baik, bukan sekadar panggung untuk pencitraan.

Jika tidak, viralitas hanyalah panggung kosong, lampu sorot yang membutakan kita dari realitas perut yang lapar dan rumah tangga yang bergulat dengan biaya hidup. Kebijakan yang benar adalah yang menghasilkan perubahan nyata, bukan hanya cuan bagi yang mengunggahnya.