UWTO : Saat Negara Menjadikan Rakyat Kecil Penyewa di Tanah Sendiri

UWTO : Saat Negara Menjadikan Rakyat Kecil Penyewa di Tanah Sendiri

Kebijakan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) menghadirkan persoalan mendasar dalam tata kelola pertanahan di Indonesia. Pada hakikatnya, tanah yang sudah diperoleh secara sah oleh warga negara telah dibebani berbagai kewajiban, mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hingga retribusi terkait perizinan. Pengenaan UWTO di luar kewajiban tersebut menimbulkan beban ganda yang kontradiktif dengan prinsip kepastian hukum dan jaminan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Dari perspektif ekonomi politik, UWTO berimplikasi pada meningkatnya biaya transaksi yang tidak proporsional. Biaya tambahan ini bukan hanya mengurangi akses masyarakat terhadap tanah, tetapi juga memperlebar kesenjangan dengan memberikan keuntungan relatif lebih besar bagi pemodal besar yang mampu menyerap biaya tersebut. Dengan kata lain, UWTO berpotensi menimbulkan distorsi pasar tanah sekaligus melemahkan prinsip distribusi keadilan sumber daya.

Secara sosiologis, keberadaan UWTO mempertegas relasi kuasa yang timpang antara negara dan warga. Alih-alih memberikan kepastian kepemilikan, kebijakan ini menempatkan masyarakat dalam posisi seolah-olah sebagai “penyewa” di tanah sendiri. Relasi semacam ini berisiko mengikis rasa aman dan kepemilikan masyarakat terhadap tanah, serta menimbulkan ketidakpercayaan terhadap negara sebagai pengelola sumber daya agraria.

Dari sisi keadilan, UWTO juga bersifat diskriminatif karena lebih membebani kelompok masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan dasar atas tanah dan hunian, sementara pihak dengan modal besar cenderung memiliki cara untuk menghindari atau meminimalkan beban tersebut. Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.

Jika Pemerintah dalam hal ini BP Batam berat menghapus UWTO secara keseluruhan , maka  penghapusan UWTO untuk tanah dengan ukuran kurang atau sama dengan 200 meter persegi merupakan langkah strategis untuk mengoreksi kebijakan pertanahan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial. Dengan menghapus beban pungutan ganda ini untuk rakyat kecil ini, negara dapat memperkuat rasa percaya masyarakat, menciptakan iklim ekonomi yang lebih sehat, sekaligus mengembalikan tanah ke fungsi utamanya sebagai hak dasar rakyat, bukan sekadar instrumen fiskal. Dalam konteks reformasi agraria, kebijakan semacam UWTO lebih merefleksikan warisan kolonial daripada cita-cita kedaulatan rakyat atas tanah.

Karena aturan ini seringkali juga menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah yang berusaha memiliki rumah kecil. Sementara itu, pengembang besar dan pemodal justru bisa bermain aturan, membebaskan diri dari beban yang sama, atau bahkan memanfaatkan celah hukum untuk keuntungan mereka sendiri. Rakyat kecil yang berjuang mencicil tanah, membangun rumah, dan hidup tenang malah terjerat aturan yang justru menambah tekanan ekonomi.

Di balik dalih regulasi, UWTO sebenarnya mewariskan logika kolonial: tanah dianggap bukan hak penuh rakyat, tetapi semacam konsesi yang bisa ditarik sewaktu-waktu. Inilah yang membuat rakyat merasa seperti tamu di tanahnya sendiri. Apakah adil sebuah negara memungut biaya ganda dari warganya hanya karena ingin menambal pendapatan daerah atau negara? Bukankah sudah cukup banyak pungutan lain yang harus ditanggung, dari pajak penghasilan, PPN, PBB, hingga retribusi yang berlapis-lapis?

Menghapus UWTO di bawah 200 meter persegi bukan sekadar persoalan teknis administrasi, melainkan soal keberpihakan. Negara harus membuktikan bahwa tanah adalah hak rakyat, bukan instrumen untuk menambah beban hidup mereka. Dengan mencabut aturan ini, negara bisa menunjukkan keberanian untuk berdiri di sisi masyarakat, bukan terus-menerus berpihak pada kepentingan segelintir pihak yang diuntungkan.

Selama UWTO masih diberlakukan untuk rakyat kecil, rakyat akan terus merasa diperlakukan tidak adil di tanah kelahirannya sendiri. Saatnya menghapus warisan kebijakan yang tidak masuk akal itu, karena keadilan tidak boleh berhenti di atas kertas, tetapi harus benar-benar dirasakan di bumi yang kita pijak.