Jakarta,KPonline – Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, mengatakan periode Januari-Oktober 2020 nilai ekspor sawit mencapai Rp225,37 triliun.
Inda menilai industri perkebunan sawit berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, tapi masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, antara lain kerusakan lingkungan, konflik agraria, perburuhan, dan ancaman ketersediaan pangan. Persoalan ini berpotensi semakin berlarut setelah pemerintah dan DPR menerbitkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Intinya beleid ini mendukung investasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat kecil termasuk kelompok buruh dan petani sawit. Selama ini buruh sawit berstatus kontrak dan harian lepas, melalui UU Cipta Kerja mereka akan terus bekerja tanpa ada kepastian status hubungan kerja, upah, dan jaminan sosial,” kata Inda ketika dikonfirmasi, Senin (4/1/2020)
Menurutnya, UU Cipta Kerja mempengaruhi sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan pembenahan tata kelola sawit, seperti Instruksi Presiden No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Padahal, setelah terbit 2 tahun implementasi Inpres ini belum signifikan.
“Disahkannya UU Cipta Kerja justru membuat proses perbaikan tata kelola sawit menjadi runyam. UU ini menerobos proses perbaikan yang berjalan dengan menawarkan model penyelesaian berbau ‘pemutihan’,” kata dia.
Menurut Inda, model penyelesaian yang ditawarkan UU Cipta Kerja meredam potensi penyelesaian, dan mengabaikan perizinan, tidak transparan, dan berujung kerugian bagi publik. Perkebunan sawit tersebar di 28 provinsi, 90 persen perkebunan sawit berada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Ekspansi sawit masih terus terjadi, dan beberapa tahun terakhir mengarah ke wilayah timur Indonesia, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
“Ekspansi perkebunan sawit mengancam masyarakat, Sawit Watch mencatat ada 1.061 komunitas berkonflik setelah kehadiran perkebunan sawit,” pungkasnya
Kendati pandemi Covid-19 melanda sepanjang tahun 2020, tapi konflik di perkebunan sawit tak menurun, bahkan dia mencatat jumlahnya meningkat. Konflik yang menimpa masyarakat tak jarang berujung kriminalisasi. Tercatat sekitar 10,8 persen konflik melibatkan masyarakat hukum adat. Kehadiran perkebunan sawit besar mengakibatkan masyarakat hukum adat kehilangan sumber penghidupan yang layak.
Selain itu, ada persoalan perburuhan di perkebunan sawit. Dari laporan yang disampaikan serikat buruh di perkebunan sawit, Inda menyebut ada kesamaan praktik ketenagakerjaan yang menyalahi aturan standar HAM di perusahaan sawit. Beberapa kasus perburuhan yang disoroti Sawit Watch, antara lain soal hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan ada perusahaan sawit yang memotong upah buruh, tapi tidak disetor untuk membayar iuran ke BPJS. Ada juga perusahaan yang membayar buruh di bawah ketentuan upah minimum dan tidak memberikan hak cuti.
Baginya, UU Cipta Kerja semakin memperburuk kondisi buruh perkebunan sawit. Inda menyebut UU Cipta Kerja menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial dan kesehatan. UU Cipta Kerja semakin memberatkan buruh perkebunan karena berpotensi melanggengkan status buruh kontrak atau harian lepas. Sawit Watch mencatat jumlah buruh di perkebunan sawit di Indonesia sekitar 20 juta orang dan lebih dari 60 persen merupakan buruh dengan hubungan kerja rentan.
“UU Cipta Kerja sama sekali tidak memenuhi kebutuhan buruh atas kepastian kerja, upah, perlindungan sosial dan hidup layak. UU Cipta Kerja justru melegitimasi praktik buruk perburuhan di perkebunan sawit,” paparnya.