Purwakarta, KPonline – Kisruh penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026 di Jawa Barat kian memanas dan menjelma menjadi drama politik kebijakan yang menyisakan tanda tanya besar. Dari 19 kabupaten/kota yang secara resmi mengajukan UMSK melalui rekomendasi bupati dan wali kota, tujuh daerah justru dicoret dari Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat. Anehnya, pencoretan itu dibungkus dengan dalih berkelit yakni tidak ada rekomendasi.
Dalih tersebut sontak menuai reaksi keras. Sebab, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Rekomendasi bupati telah dikirim, dibahas di tingkat daerah, bahkan menjadi dasar pengajuan ke provinsi. Namun di Gedung Sate, rekomendasi itu seolah menguap, lenyap tanpa jejak. Yang tersisa hanyalah keputusan sepihak yang memukul buruh dan memicu kemarahan publik.
Di titik inilah publik mulai bertanya. Apakah gubernur benar-benar membaca realitas, atau sekadar mengoreksi berkas seperti guru sekolah yang mencoret jawaban murid karena tak sesuai seleranya?
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang kerap menyebut dirinya sebagai Bapak Aing justru tampil dengan narasi yang makin menjauh dari substansi. Alih-alih menjelaskan secara transparan mengapa tujuh kabupaten dicoret, pernyataan yang muncul justru menyalahkan daerah. Mulai dari rekomendasi dianggap tidak ada, tidak lengkap, atau tidak memenuhi syarat redaksional. Sebuah logika administratif yang terdengar dingin, kaku, dan abai terhadap dampak sosial.

Padahal, gubernur bukanlah penguji lembar ujian yang berhak memberi tanda silang merah semata karena satu baris dianggap keliru. Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah yang seharusnya mengayomi, menjembatani, dan memastikan kebijakan berpihak pada kesejahteraan warganya. Terutama buruh yang menggantungkan hidup pada kepastian upah.
Pencoretan tujuh kabupaten ini bukan sekadar soal administrasi UMSK. Ini soal kepercayaan publik. Ketika rekomendasi resmi bupati bisa dianggap tidak ada, maka yang dipertaruhkan adalah marwah pemerintahan daerah itu sendiri. Jika rekomendasi kepala daerah saja bisa diabaikan, lalu suara siapa lagi yang dianggap sah?
Bagi buruh, keputusan ini terasa seperti tamparan keras. Setelah melalui proses panjang di daerah melalui rapat dewan pengupahan, pembahasan sektor, hingga rekomendasi resmi. Hasilnya justru dibatalkan secara sepihak. Tidak ada dialog, tidak ada koreksi bersama, hanya keputusan final yang turun dari atas seperti vonis.
Kondisi ini memperlihatkan wajah paradoks kepemimpinan. Di satu sisi mengklaim dekat dengan rakyat, di sisi lain mengeluarkan kebijakan yang meminggirkan aspirasi daerah dan jeritan buruh. Bapak Aing yang seharusnya merangkul, justru tampil seperti wali kelas yang sibuk menilai salah-benar tanpa peduli dampak nilai itu pada masa depan muridnya.
Jika gubernur terus berlindung di balik alasan administratif yang bertolak belakang dengan fakta rekomendasi bupati, maka kisruh UMSK ini akan tercatat bukan sebagai kesalahan teknis, melainkan sebagai kegagalan kepemimpinan.
Dan hari ini, tujuh kabupaten yang dicoret itu sedang bertanya dengan suara lirih. Apakah kami masih bagian dari Jawa Barat, atau sekadar coretan tinta di meja gubernur?