Tolak PP Pengupahan, Said Iqbal Soroti KHL dan Ancaman Upah Murah

Tolak PP Pengupahan, Said Iqbal Soroti KHL dan Ancaman Upah Murah
Said Iqbal Presiden KSPI Sekaligus Presiden Partai Buruh saat menyampaikan Orasi dalam Konsolidasi Aksi KSPI - Partai Buruh di JCC Senayan Jakarta. Kamis (30/10/25). Foto : Ocha

Jakarta,KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh menyatakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang akan dijadikan dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Penolakan tersebut disampaikan karena kalangan buruh menilai tidak dilibatkan dalam proses perumusan aturan tersebut.

Sebagai informasi, PP tentang Pengupahan telah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada Selasa (16/12/2025). Regulasi tersebut nantinya menjadi acuan dalam penentuan besaran kenaikan UMP tahun 2026.

Bacaan Lainnya

“Menolak peraturan pemerintah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia terkait dengan pengupahan. Ada beberapa alasan mengapa KSPI dan Buru Indonesia menolak peraturan pemerintah terkait dengan pengupahan tersebut,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (17/12/2025).

Said Iqbal menjelaskan, alasan pertama penolakan adalah karena buruh tidak pernah diajak berdiskusi dalam proses perumusan peraturan pemerintah tersebut. Selain itu, isi PP Pengupahan juga tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada buruh hingga saat ini.

Ia menyebutkan, keterlibatan buruh hanya terjadi satu kali dalam pembahasan yang bersifat sosialisasi di Dewan Pengupahan pada 3 November 2025. Pertemuan tersebut pun berlangsung singkat, sekitar dua jam.

“Dengan demikian, sampai hari ini, buruh, KSPI termasuk di dalamnya, tidak pernah mengetahui apa isi pasal demi pasal daripada peraturan pemerintah terkait pengupahan tersebut,” katanya.

Alasan berikutnya, berdasarkan informasi terbatas yang diperoleh dari pemerintah maupun pemberitaan media, KSPI menilai PP Pengupahan berpotensi merugikan buruh, terutama terkait definisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Said Iqbal menegaskan, penetapan KHL seharusnya mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 yang memuat 64 komponen KHL, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, perumahan, transportasi, hingga kebutuhan dasar lainnya.

Namun, menurutnya, dalam penjelasan Menteri Ketenagakerjaan terkait penetapan kenaikan upah minimum, definisi KHL sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 tidak digunakan sebagai rujukan.

Akibatnya, kata Said Iqbal, penetapan KHL dalam PP Pengupahan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga berpotensi merugikan buruh.

“Siapa yang menghitung kebutuhan hidup layak itu? Apakah BPS? Apakah Dewan Ekonomi Nasional? Apakah Kemenaker? Kalau menggunakan data BPS, seharusnya menggunakan survei biaya hidup yang kita kenal dengan SBA. Hidup di Jakarta bisa Rp 15 juta. Tidak mungkin hidup di Jakarta Rp 5 juta menurut survei biaya hidup BPS sebulannya,” katanya.

“Jadi, kami memandang definisi KHL yang dipaparkan oleh Menteri adalah akal-akalan saja. Seolah-olah ingin di framing atau dinarasikan bahwa upah minimum yang sudah ada di Indonesia sudah melebihi kebutuhan hidup yang layak,” tambahnya.

Alasan terakhir penolakan, lanjut Said Iqbal, adalah kekhawatiran bahwa Indonesia akan kembali pada rezim upah murah. Hal tersebut dikaitkan dengan substansi PP Pengupahan yang dinilai mengadopsi sejumlah ketentuan dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 51 Tahun 2024 yang sebelumnya telah dicabut.

“Hal itulah yang menyebabkan KSPI dan buruh Indonesia menolak peraturan pemerintah tentang pengupahan. Dengan demikian, penetapan kenaikan upah minimum 2026 bila mana menggunakan PP pengupahan yang terbaru kami tolak,” katanya.

Pos terkait