Serikat Pekerja Indonesia Gelar Pertemuan dengan Parlemen Uni Eropa

Serikat Pekerja Indonesia Gelar Pertemuan dengan Parlemen Uni Eropa

Jakarta, KPonline – Sejumlah pimpinan serikat pekerja/serikat buruh tingkat nasional menghadiri pertemuan penting dengan delegasi Parlemen Uni Eropa dalam rangka kunjungan resmi Komite Perdagangan Internasional (INTA) ke Indonesia. Pertemuan ini diselenggarakan di Kantor Delegasi Uni Eropa di Menara Astra, Jakarta, dan menjadi bagian dari rangkaian agenda diplomasi ekonomi yang berlangsung sejak 14 hingga 16 April 2025.

Delegasi INTA Parlemen Eropa dipimpin oleh Chairman Hon. Bernd Lange, serta dihadiri oleh beberapa Anggota Parlemen Eropa, seperti Iuliu Winkler, Jörgen Warborn, Kathleen Van Brempt, Christophe Bay, dan Wouter Beke. Sementara itu, unsur serikat pekerja Indonesia yang hadir antara lain perwakilan dari KSPI, KSPSI-AGN, KSBSI, KSarbumusi, Gartek, dan Serbuk.

KSPI diwakili oleh Wakil Presiden Bidang Jaminan Sosial, Roni Febrianto, yang dalam kesempatan tersebut memaparkan situasi ketenagakerjaan terkini di Indonesia. Disampaikan bahwa perjuangan buruh Indonesia belum selesai, khususnya pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 yang memicu penolakan luas di kalangan pekerja. Selama empat tahun terakhir, buruh terus menyuarakan penolakan melalui aksi massa, jalur hukum, hingga judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasil dari perjuangan tersebut adalah Putusan MK No.168/PUU-XXI/2023 yang secara substansial mengakomodasi sebagian besar keberatan buruh terhadap klaster ketenagakerjaan. MK mengabulkan uji materiil dalam enam aspek utama, yakni: penggunaan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), pengupahan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan besaran uang pesangon serta hak-hak lainnya. KSPI mendorong agar Presiden RI dan DPR segera menindaklanjuti putusan ini dengan membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda pembahasan dimulai.

Selain isu ketenagakerjaan, KSPI juga mengusulkan revisi terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), mengingat telah terjadi 14 kali judicial review terhadap kedua undang-undang tersebut. Setelah lebih dari satu dekade pelaksanaan, ditemukan berbagai kekurangan yang memerlukan perbaikan agar jaminan sosial dapat berjalan lebih optimal dan menyeluruh, dari lahir hingga meninggal dunia.

KSPI juga menyampaikan pentingnya perbaikan terhadap UU Perlindungan Pekerja Migran dan segera disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah mengalami penundaan selama lebih dari 20 tahun. Dalam konteks kondisi ketenagakerjaan pasca-pandemi, KSPI mencatat bahwa angka PHK masih tinggi dan diperkirakan akan mencapai 60 ribu kasus pada tahun 2025. Sebagai respons, KSPI mengusulkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan PHK kepada Presiden RI, dan usulan ini telah mendapatkan respons positif.

Mengenai kebijakan upah minimum tahun 2025, disampaikan bahwa telah disepakati kenaikan sebesar 6,5% setelah melalui pembahasan antara serikat pekerja dan Kementerian Ketenagakerjaan. Namun demikian, tantangan lainnya masih mengemuka, terutama terkait praktik outsourcing yang dianggap tidak manusiawi dan tidak memberikan kepastian kerja bagi kaum muda. Sistem kontrak yang berkepanjangan dan batas usia rekrutmen yang ketat telah mempersempit peluang kerja bagi lulusan baru dan pekerja berpendidikan rendah.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea, menyoroti kondisi industri padat karya seperti tekstil dan sepatu yang tengah mengalami tekanan berat. Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah yang mulai berpihak kepada sektor ini dan mendorong Parlemen Uni Eropa untuk turut mendukung investasi yang berdampak positif terhadap penciptaan lapangan kerja. Ia juga menyinggung peran inovatif Desk Pidana Ketenagakerjaan yang dibentuk oleh Kepolisian Republik Indonesia sebagai langkah maju dalam penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan.

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, dalam penyampaiannya mengkritisi kurangnya keterbukaan dalam proses perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa. Ia menegaskan pentingnya pelibatan serikat buruh agar prinsip-prinsip hak asasi manusia, perlindungan sosial, dan standar ketenagakerjaan internasional tetap dijunjung dalam setiap kesepakatan bilateral.

Pertemuan ini bukan hanya membahas kondisi aktual ketenagakerjaan, tetapi juga membuka ruang komunikasi yang konstruktif antara serikat pekerja Indonesia dan Parlemen Uni Eropa. Forum ini menandai langkah awal yang penting untuk membangun bentuk kerja sama yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Harapannya, investasi yang masuk ke Indonesia ke depan tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan para pekerja, dengan tetap menjunjung tinggi hukum nasional dan konvensi internasional.

KSPI yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) berkomitmen untuk terus memperkuat ruang dialog dalam setiap proses perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa. Keterlibatan serikat pekerja menjadi kunci agar kesepakatan ekonomi tidak bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial, serta menghormati konvensi-konvensi dasar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan peraturan perundang-undangan nasional, khususnya di bidang ketenagakerjaan dan jaminan sosial.

Dalam situasi global yang penuh tantangan—dengan ketegangan geopolitik dan perang tarif antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok—Indonesia dan Uni Eropa memiliki peluang besar untuk memperkuat kemitraan strategis. Kerja sama yang dilandasi prinsip saling menghormati dan keberlanjutan dapat menjadi jawaban atas ketidakpastian global, sekaligus membuka jalan bagi peningkatan akses pasar produk Indonesia di Eropa dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia.