Sejarah Berdirinya Serikat Pekerja di Perusahaan Perkebunan Negara

Medan, KPonline – Sejarah Berdirinya Serikat Pekerja di Perusahaan Perkebunan Negara.

Oleh : Siswanto Bangun Sekretaris PC. SPPK FSPMI Labuhanbatu, dan

Mantan Pengurus Harian SPBun PTPN III dan Federasi SPBun PTPN I-XIV

 

Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Demikianlah semboyan yang pernah kita ketahui dari Ir. Soekarno, seorang bapak bangsa Indonesia, atau yang sering disebut sebagai salah satu The Founding Fathers. Semboyan ini sepertinya berlaku kepada semua pekerja perkebunan negara utamanya PT Perkebunan Nusantara III, terkait dengan bagaimana Serikat Pekerjanya memperjuangkan kesejahteraannya.

 

Tiga puluh dua tahun lamanya kemerdekaan buruh perkebunan dibelenggu kemerdekaannya, diperbudak oleh rezim diktator tangan besi yang bernama Orde Baru. Setelah itu penghisapan pun berakhir ketika pada tanggal 21 Mei 1998 dihadapan Mahkamah Agung RI dan disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, rezim menyatakan mengundurkan diri. Hal ini merupakan momentum bagi semua rakyat Indonesia tak terkecuali para pekerja di perusahaan perkebunan negara untuk lepas penindasan itu.

 

Selanjutnya Indonesia memasuki era reformasi di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. B.J Habibie kemudian membuka ruang kebebasan berdemokrasi termasuk kepada kaum pekerja di Indonesia. Diratifikasinya konvensi International Labour Organization (ILO) No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize) melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 83/1998 adalah sebagai bukti aspirasi kaum pekerja untuk berorganisasi dan berserikat yang hampir selama 32 tahun dibungkam. Tentu saja itu bukti keseriusan pemerintah memberi ruang kebebasan berdemokrasi kepada seluruh kaum pekerja Indonesia.

 

Pada tanggal 13 November 1999 pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak oleh MPR, kepemimpinan BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia berakhir, kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur). Pada masa kepemimpinan Gusdur tepatnya pada tanggal 4 Agustus 2000, telah disahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Dengan diratifikasinya konvensi ILO No. 87/1948 pada Tahun 1998 dan disahkannya UU No. 21/2000 oleh kedua presiden, maka jaminan dan perlindungan kepada semua pekerja untuk berserikat semakin kuat.

 

Berdirinya Serikat Pekerja Diperusahaan Perkebunan Negara

Berdirinya organisasi serikat pekerja di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya di perusahaan perkebunan negara, PTPN I hingga XIV, diawali dari keruntuhan rezim diktator tangan besi orde baru pada tahun 1998. Adapun dasar pendirian serikat pekerja ini selain Ratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 melalui Keppres No. 83/1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize) adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 1998 tentang Peraturan Pelaksana Perseroan Terbatas yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT).

 

PP No. 12 Tahun 1998 tersebut menyatakan bahwa perlu ada Serikat Pekerja/Serikat Buruh di suatu Badan Usaha Milik Negara (State Owned Enterprises) yang menjelaskan bahwa “Pegawai perseroan merupakan pekerja perseroan yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaanā€¯.

 

Berdasarkan ketentuan regulasi sebagaimana tersebut di atas pada tahun 1998 beberapa orang pekerja PTPN I hingga XIV kemudian melakukan musyawarah membentuk dan mendirikan organisasi serikat pekerja dengan nama Serikat Pekerja Perkebunan (SPBun) di PT Perkebunan Nusantara III. Salah satu tokoh pendiri dan sekaligus sebagai ketua umumnya adalah Drs. HN. Serta Ginting yang dikemudian hari saat SPBun PT Perkebunan Nusantara III dipimpin oleh Dr Christian Orchard Perangin-angin, SH. MKn. CLA pada tahun 2018 dikukuhkan sebagai sesepuh SPBun PT Perkebunan Nusantara III.

 

Pembentukan dan pendirian SPBun PT Perkebunan Nusantara III ini diperkuat lagi dengan terbitnya Instruksi Menteri Negara Pemberdayaan BUMN No. S-19/mSA-5/PBUMN tanggal 15 Maret 1999 tentang BUMN harus memfasilitasi pendirian serikat pekerja. Sejak berdirinya SPBun pada tahun 1998 dan setelah ditandatanganinya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) untuk pertama kalinya antara SPBun dengan perusahaan, terjadi perubahan yang signifikan kepada semua pekerja PT Perkebunan Nusantara III, yang semula statusnya sebagai Karyawan Harian Tetap (KHT), Pegawai Bulanan (PB) dan Staf, telah berubah menjadi Karyawan Tetap dengan golongan dan strata. Yang membedakan itu semua adalah pada sebutan, dimana untuk pekerja untuk golongan bawah disebut Karyawan Pelaksana dan untuk karyawan menengah hingga puncak disebut Karyawan Pimpinan.

 

Adapun tujuan pemberian golongan dan strata ini adalah untuk membedakan jumlah gaji dan tunjangan para pekerja. Dalam hal ini sebagai wujud terimplementasinya dengan baik Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang struktur dan skala upah di PTPN III. Perjuangan SPBun PT Perkebunan Nusantara III untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya pada setiap perundingan PKB semakin baik, hal ini terlihat nyata dan jelas pada hak-hak yang diperjanjikan yang tersebut pada PKB seperti:

 

Bantuan Anak Sekolah (BAS) bagi anak-anak semua pekerja, dari mulai tingkat SMP, SMA, dan universitas yang diberikan secara teratur setiap bulannya, dengan nilai bantuan per anak per bulan:

 

SMP Rp 200.000 per bulan, setahun Rp 2.400.000

SMA Rp 325.000 per bulan, setahun Rp 3.900.000

Perguruan Tinggi Rp 550.000 per bulan, setahun Rp 6.600.000.

 

Pemberian tunjangan air untuk golongan terendah Rp 100.000 per bulan, setahun Rp 1.200.000.

Tunjangan listrik untuk golongan terendah Rp 200.000 per bulan, setahun Rp 2.400.000.

Tunjangan Cuti Tahunan sebesar 125 % dari gaji atau senilai Rp 2.522.609 x 125 % = Rp 3.153.261.

Cuti Panjang sebesar 175 % dari gaji, atau senilai Rp 4.414.566.

Bonus, sesuai data bonus perolehan Tahun 2022 untuk golongan terendah jabatan Pemanen kelapa sawit sekitar Rp 23.000.000.

Santunan Hari Tua (SHT) diberikan kepada pekerja, yang di PHK karena meninggal dunia dan memasuki usia pensiun dengan perhitungan:

 

Pekerja Golongan IA sampai dengan IID masa kerja s.d 20 tahun sebesar 1,25 (satu koma dua puluh lima) bulan gaji pokok untuk tiap tahun masa kerja dan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 1,75 (satu koma tujuh puluh lima) bulan gaji pokok untuk tiap tahun masa kerja.

Pekerja Golongan IIIA sampai dengan IVD masa kerja s.d 20 tahun sebesar 2 (dua) bulan gaji pokok untuk tiap tahun masa kerja dan masa kerja lebih dari 20 tahun sebesar 3 (tiga) bulan gaji pokok untuk tiap tahun masa kerja.

 

Dalam catatan sejarah, sebelum lahirnya SPBun yakni pada saat negeri ini dipimpin oleh rezim diktator tangan besi orde baru, hak-hak yang diperjanjikan sebagaimana tersebut di atas tidak ada diberikan kepada semua pekerja. Bila dibandingkan dengan isi PKB di semua perusahaan perkebunan baik BUMN dan swasta yang ada di negeri ini, maka PKB PT Perkebunan Nusantara III merupakan PKB terbaik dan tertinggi nilainya. Pekerja PTPN III dapat membuktikannya dengan melakukan study banding ke beberapa perusahaan perkebunan di Indonesia.

 

Tidak Ada Jaminan Seluruh Hak Tersebut Tetap Dibayarkan/ Diberikan.

Mengingat serta menimbang semua hak yang diperjanjikan tersebut tidak ada payung hukumnya, sehingga tidak ada jaminan akan terus diberikan, dasarnya hanyalah kesepakatan dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan, bahkan sebagian diduga terjadi tumpang tindih pembayaran (overlapping) seperti tunjangan listrik dan air, yang sudah termasuk kepada komponen upah minimum, demikian halnya tunjangan cuti dimana sesuai ketentuan regulasi peruntukannya kepada pekerja yang bekerja di perusahaan tertentu seperti perusahaan tambang minyak lepas pantai, serta nilanya maksimal 50% dari gaji, kemudian Santunan Hari Tua (SHT) yang definisinya sebagai uang pesangon bila dirujuk kepada ketentuan regulasi perusahaan tidak wajib membayarnya karena semua pekerja sudah terdaftar sebagai peserta pensiun.

 

Seluruh biaya hak-hak sebagaimana tersebut di atas menjadi beban langsung produksi dan sangat memengaruhi kepada Harga Pokok Produksi (HPP) serta pencapaian laba perusahaan.

Tidak tertutup kemungkinan seluruh hak-hak tersebut dihapuskan demi mencapai tujuan bisnis perusahaan pencapaian laba sebesar-besarnya. Salah satu cara untuk melakukan efisiensi guna mencapai laba maksimal adalah dengan memperkecil harga pokok produksi, terutama biaya tenaga kerja yang merupakan unsur terbesar harga pokok produksi. Bila hak-hak yang diperjanjikan tersebut ditiadakan oleh perusahaan, maka tidak dapat dikategorikan perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum, karena kewajiban perusahaan hanya membayar upah sesuai nilai upah minimum dan membayar upah lembur atas kelebihan jam kerja kepada pekerjanya.

 

SPBun sangat luar biasa mampu berbuat maksimal kepada anggotanya bila dibandingkan dengan serikat pekerja lain yang ada di perusahaan perkebunan BUMN dan swasta. Apa yang dibuat oleh SPBun ini seharusnya diapresiasi oleh semua anggotanya, dan bukan sebaliknya mau terprovokasi oleh segelintir oknum di perusahaan yang tujuannya untuk memenuhi nafsu syahwat mereka belaka seperti kenaikan jabatan mereka sendiri tapi telah mengganggu kesejahteraan ratusan ribu pekerja dan keluarganya. Apa yang pernah terjadi di tahun 2017 lalu adalah perpecahan di kalangan pekerja. Tentu saja para pekerja terutama para pengurus SPBun di masa itu akan mencatat nama-nama mereka yang telah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadi. Sebagaimana kita ingat apa yang dikatakan oleh Soekarno: Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah! Apakah pekerja di PT Perkebunan Nusantara III tidak ingat ini?

 

“Tidak bersatunya pekerja adalah suatu kondisi yang memang diinginkan oleh semua pengusaha, agar tujuan utamanya menerapkan kebijakan perusahaan tercapai. Untuk menciptakan perpecahan dikalangan pekerja, terkadang pengusaha menggunakan boneka-bonekanya yakni para pekerja di kalangan tertentu yang akan diberi imbalan tertentu.”

 

Perusahaan Melakukan Perubahan

Perubahan itu sesuatu yang abadi, demikian halnya dalam dunia bisnis, perubahan itu adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan oleh para pelaku bisnis. Tujuannya untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan ketatnya persaingan bisnis itu sendiri sehingga perubahan memaksa setiap managemen di perusahaan harus bisa untuk menyesuaikan dirinya terhadap kondisi yang ada dengan baik.

 

Upaya untuk menyesuaikan diri ini bertujuan tidak lain agar perusahaan bisa terus berlangsung tumbuh dan berkembang atau setidaknya mampu untuk bertahan. Langkah yang lazim dilakukan oleh semua perusahaan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan melakukan restrukturisasi korporasi.

 

Secara umum restrukturisasi adalah sesuatu kegiatan perusahaan untuk mereformasi strategi operasional perusahaan demi mencapai tujuan atau target dengan sukses. Utamanya yang berhubungan dengan operasional, finansial, Sumber Daya Manusia, produktifitas dan target pencapaian laba perusahaan. Tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara III Holding sekarang ini, melakukan restrukrisasi dengan memerger (menggabungkan) lima unit/anak perusahaanya yakni PTPN III, IV, V, VI dan XIII dalam satu wadah sub holding di bawah badan hukum PT Perkebunan Nusantara IV.

 

Restrukrisasi ini secara langsung berdampak kepada perubahan organ perusahaan utamanya dewan direksi. Dari lima dewan direksi menjadi satu dewan direksi, sementara di masing-masing ex PT Perkebunan Negara baik III, IV, V, VI, dan XIII akan dipimpin oleh Senior Eksecutive Vice Presiden (SEVP).

 

Tujuan restrukrisasi yang dilakukan oleh korporasi sangat positif bila ditinjau dari aspek keberlangsungan perusahaan, dan hal ini sudah sepatutnya didukung penuh oleh Serikat Pekerja dan seluruh pekerja. Dukungan kepada perusahaan tentu tidak bisa sepihak harus ada timbal baliknya, di mana perusahaan harus bisa menjamin semua hak-hak pekerja baik hak normatif, hak yang diperjanjikan seperti yang tertera pada PKB tidak ada yang berkurang baik sekarang dan seterusnya. Demikian juga tentang masa kerja, hubungan kerja tidak terjadi perubahan, dan jaminan dari perusahaan ini tidak bisa hanya sebatas lisan, dan tulisan berupa Surat Edaran (SE) instruksi atau sejenisnya.

 

Jaminan harus berbentuk akta perjajian berupa Perjanjian Bersama (PB) atau Kesepakatan Bersama (KB) antara Serikat Pekerja dengan Perusahaan yang dibuat di hadapan notaris atau instansi di bidang ketenagakerjaan, kemudian dicatatkan di pengadilan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dan bila pada satu waktu perusahaan melakukan wanprestasi (ingkar) maka SPBun dapat melakukan gugatan dan/atau memaksa perusahaan untuk patuh dengan menggelar aksi unjuk rasa seperti mogok kerja.

 

Sebaliknya bila perusahaan tidak bersedia melakukan perjanjian, maka dapat dipastikan perubahan yang dilakukan perusahaan memiliki tujuan terselubung yang dampaknya merugikan pekerja.

 

“Semoga tulisan ini bisa bermanfaat”