Sebuah Cara Memperpanjang Usia Perlawanan

Sebuah Cara Memperpanjang Usia Perlawanan
Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, Pimpinan Redaksi Media Perdjoeangan

Jakarta, KPonline – Akhir Maret lalu, sehari sebelum memasuki Ramadhan, saya menghadiri satu undangan ke Bandung. Ini adalah Rapat Kerja DPP PPIP. Ia adalah serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan yang selama ini berdiri tegak di garda terdepan melawan privatisasi.

Pagi itu saya berangkat dari Gambir, menaiki Argo Parahyangan. Sebuah perjalanan sekaligus arena reflektif bagi saya. Setidaknya ia mengingatkan saya pada buruh-buruh kereta api, di awal serikat buruh mulai menjamur di Hindia Belanda.

Saya sempat membuat video soal perjalanan ini di YouTube Bicaralah Buruh. Anda bisa menontonmya di sini jika ada waktu.

Dalam pertemuan yang dihadiri delegasi dari berbagai wilayah di Indonesia itu, saya diminta berbicara terkait dengan pentingnya media di dalam gerakan serikat pekerja. Termasuk di dalamnya menyorot tentang isu terkini di dunia perburuhan.

Saya dengan senang hati melakukannya. Dua hal itu adalah ritme hidup saya sehari-hari.

Soal media, sebenarnya bukan hanya gerakan yang membutuhkan. Tidak perlu memberi contoh bagaimana Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, atau bahkan Goebbels melakukannya. Ketika tulisan ini sampai ke Anda, itu karena peran media.

Kalau Anda merasa perlu memposting apa yang Anda pikirkan, aktivitas apa yang sedang Anda kerjakan; terlebih lagi gerakan. Tentulah lebih membutuhkan.

Bayangkan kalau semua orang tidak ada yang bersedia memposting aktivitasnya di serikat. Dunia tidak akan pernah tahu betapa pedihnya ratapan yang terjadi di balik dinding pabrik.

Melalui media, apa yang sedang diperjuangkan serikat akan diketahui oleh publik. Ini semacam edukasi, bahwa ada yang harus diperbaiki.

Hingga akhirnya, pada titik tertentu, apa yang kita perjuangkan mendapat dukungan yang luas dari masyarakat.

Andaikan aksi si pedagang kaki lima yang bunuh diri dengan membakar dirinya di Tunisia tidak viral, bisa revolusi Tunisia yang memicu gerakan Arab Spring untuk menggulingkan beberapa pemimpin otokratis di wilayah tersebut tidak akan pernah terjadi.

Di Korea, kita juga mengenal Chun Tae Il. Aktivis serikat buruh yang akhirnya membakar diri di depan kantor kepresidenan bersama Undang-Undang yang tidak jalan. Kasus bakar diri Chun Tae Il dilakukan dalam demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja dan penegakan hukum di Korea. Chun membakar dirinya sendiri ketika demo berlangsung dengan memegang undang-undang perburuhan yang hanya indah di atas kertas.

Lagi-lagi, karena diberitakan, kisah itu mengguncang seantero Korea. Bahkan dunia. Sebuah kisah yang mengawali babak baru dalam perbaikan hukum perburuhan agar tidak selalu memihak pada pemilik modal.

Media juga yang merawat ingatan kita pada sebuah kisah di tahun 1886. Tahun ketika tragedi Hymarket meledak. Sebuah peristiwa, yang kini kita peringati sebagai May Day.

Kisah orang mati karena bunuh diri terjadi di banyak tempat. Momentum perlawanan juga dilakukan setiap saat. Pun ada media yang memberitakannya. Tetapi tidak semua bisa menjadi pemantik terjadinya revolusi.

Salah satunya adalah, tidak ada organisasi yang memimpin perlawanan. Sehingga protes-protes hanya terkesan parsial. Perseorangan.

Gerakan dan propaganda harus berjalan berdampingan. Propaganda tanpa gerakan hanya membual. Gerakan tanpa propaganda hanya karnaval, minim partisipasi dan dukungan dari elemen masyarakat yang lain.

Bekerja dengan media berarti memperpanjang durasi perlawanan. Dengannya suara-suara itu akan menggema lebih lama dan berlipat ganda.