Saat Aksi UMSK 2026 Jawa Barat Dianggap Gangguan, Justru Pedagang Kecil Merasakan Manfaatnya

Saat Aksi UMSK 2026 Jawa Barat Dianggap Gangguan, Justru Pedagang Kecil Merasakan Manfaatnya
Lariska saat diwawancarai oleh Media Perdjoeangan

Bekasi, KPonline-Di tengah sorotan soal Demo Buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) afiliasi KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) se-Jabar (Jawa Barat) yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua dalam menuntut Revisi SK UMSK Jawa Barat 2026, suara tak terduga justru datang dari pelaku UMKM yang selama ini kerap dijadikan dalih untuk menekan upah buruh.

Saat dikonfirmasi oleh media di sela-sela aksi Buruh se Jabar tersebut dan diantaranya berasal dari Purwakarta, Subang, dan Karawang, seorang pedagang perempuan sebut saja Lariska, pedagang Cilok di sekitaran Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi. Selasa, (30/12/2025) mengatakan, Kalau buruhnya digaji kecil, ya kami juga sepi pembeli.

Pernyataan itu terekam spontan, lugas, dan tanpa skrip. Namun isinya menghantam narasi lama yang selama ini dipelihara elite kebijakan bahwa kenaikan upah buruh adalah ancaman bagi UMKM.

Setiap kali buruh turun ke jalan, tudingan klasik selalu muncul. Demo dianggap mengganggu ketertiban, merusak iklim usaha, bahkan disebut menghambat perputaran ekonomi rakyat kecil. Namun realitas di lapangan berbicara sebaliknya.

“Alhamdulillah dengan adanya demi buruh ini, dagangan malah laris,” kata Lariska. “Orang-orang kalau gajinya cukup, mereka berani jajan. Kalau upahnya mepet, mau beli gorengan saja mikir dua kali”.

Pernyataan ini seolah menampar keras anggapan bahwa perjuangan buruh bertentangan dengan kepentingan UMKM. Justru, menurut pelaku usaha kecil, daya beli buruh adalah denyut nadi ekonomi lokal.

Aksi buruh yang digelar dengan konvoi kendaraan roda dua menuju pusat kekuasaan nasional bukan tanpa sebab. Mandeknya kepastian UMSK 2026 Jawa Barat, ditambah sikap gubernur yang dinilai tidak jelas dan berkelit, memicu akumulasi kekecewaan.

Dalam dialog singkat namun penuh makna itu, muncul kesadaran kolektif bahwa upah murah tidak hanya menghukum buruh, tetapi juga mematikan ekonomi lokal.

“Kalau gajinya kecil, masyarakat nggak berani keluar, nggak berani jalan-jalan, nggak berani belanja,” lanjut Lariska.
“Itu ngaruh ke UMKM. Ngaruh banget.”

Ekonomi kerakyatan, yang selama ini dielu-elukan dalam pidato pejabat, justru terancam oleh kebijakan upah yang tidak berpihak. Ketika buruh kehilangan daya beli, warung, pedagang kaki lima, hingga usaha rumahan ikut kehilangan pelanggan.

Singkatnya, bagi sebagian warga seperti Lariska, aksi buruh justru dipandang sebagai alarm sosial, peringatan bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola kebijakan.
“Dengan aksi kayak gini, bagus sebenarnya. Menyuarakan aspirasi buruh supaya upahnya benar-benar wajar,” kata Lariska.

Ia menegaskan bahwa tuntutan buruh bukan soal kemewahan, melainkan kelayakan hidup. Bukan meminta upah tinggi tanpa kerja, tetapi menolak kerja keras dengan upah yang dipaksa minimum di tengah biaya hidup yang terus naik.

Karena kebuntuan di tingkat provinsi, buruh dari Purwakarta, Subang, dan Karawang memilih membawa tuntutan mereka lebih jauh ke Istana Negara. Mereka menuntut Revisi SK UMSK Jawa Barat 2026, berharap suara mereka akhirnya didengar oleh pemerintah pusat.

Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap abai, tidak transparan, dan menjauh dari realitas kehidupan pekerja.

Pertanyaannya kini sederhana, Jika buruh berjuang untuk upah layak, UMKM merasa terbantu, lalu siapa yang sebenarnya merasa terganggu?

Di tengah hiruk pikuk tudingan dan stigma, suara jujur dari lapak kecil di pinggir jalan justru memberi pelajaran besar bahwasanya upah layak bukan musuh ekonomi, melainkan fondasinya.

Dan ketika buruh bergerak, bukan hanya hak mereka yang diperjuangkan tetapi juga napas panjang ekonomi rakyat kecil.