Puasa Itu Sangat Bermanfaat Dan Memiliki Hikmah Yang Besar Bagi Umat Islam

Purwakarta, KPonline – Menjalankan Ibadah Puasa di bulan ramadhan merupakan kewajiban bagi seorang muslim di belahan bumi manapun, terlebih lagi puasa merupakan salah satu rukun Islam ketiga setelah dua kalimat syahadat dan shalat lima waktu.

Ibnu Asyur dalam Tahrir wa al- Tanwir, sebuah karya tafsir yang sangat monumental, menjelaskan tujuan puasa adalah untuk membersihkan dan melatih hati manusia.

Bacaan Lainnya

Puasa ditujukan untuk membersihkan masing-masing hati individu, dimulai dari hati yang bersih itu tatanan masyarakat yang baik akan terbentuk.

Mustahil masyarakat yang baik terwujud tanpa dimulai dari memperbaiki diri manusia masing-masing. Kalau setiap individu sudah memiliki hati yang baik, dengan sendirinya tatanan sosial yang baik juga akan terbentuk.

“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183)”.

Melalui surat Al-Baqarah ayat 183 tersebut, dapat dipahami bahwa puasa sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Arab. Sebelum Islam mewajibkan puasa, mereka sudah mengenalnya.

Dalam riwayat Ibnu Abbas:”Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau bertemu dengan orang Yahudi yang sedang puasa Asyura. Rasulullah bertanya, kenapa kamu puasa? Ini hari Allah menyelematkan Nabi Musa, makanya kami puasa. “Kalau begitu, kami lebih berhak atas Musa dibanding kalian.”Jawab Rasulullah. Sehingga beliau puasa dan memerintahkan puasa Asyura”.

Akan tetapi, ketika perintah puasa Ramadhan turun, hukum puasa Asyura berubah menjadi sunnah. Rasulullah bersabda: “Siapa yang mau silahkan puasa pada hari Asyura, kalau tidak puasa juga tidak apa-apa”.

Sekalipun puasa sudah dikenal, tetapi Islam mempertegas kewajiban puasa untuk umat Islam. Kenapa ini perlu dipertegas, tujuannya untuk menunjukkan bahwa puasa itu sangat bermanfaat dan memiliki hikmah yang besar bagi umat Islam.

Sebagaimana disebutkan di awal, tujuan besarnya adalah untuk menjadi orang yang bertakwa, la’allakum tattaqun. Inti dari takwa adalah menjauhi maksiat. Menurut Ibnu Asyur, maksiat ada dua macam. Pertama, maksiat yang bisa ditinggalkan dengan cara merenungi, dinasehati, atau diberi hukuman, seperti mabuk, judi, mencuri, dan lain-lain.

Tapi ada juga maksiat yang tidak bisa hilang atau susah ditinggalkan dengan cara berpikir, dinasehati, atau dihukum, contohnya seperti iri, sombong, dengki, riya, dan penyakit hati lainnya.

Dengan adanya puasa, harapannya hati kita dibersihkan dari segala kotoran dan penyakit, sehingga dorongan hawa nafsu lebih mudah untuk dikendalikan.

Menurut Abu Laits al-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin, setidaknya terdapat tujuh tanda atau ciri-ciri orang bertakwa sebagai berikut:

Pertama, lisannya tidak pernah digunakan untuk berkata bohong dan gunjing. Lisannya fokus dzikir, baca qur’an, diskusi ilmu, dan hal baik lainnya.

Kedua, tidak masuk ke dalam perutnya kecuali makanan yang halal dan baik, dan meskipun makanan halal mereka mengkonsumsi secukupnya dan tidak berlebihan.

Ketiga, pandangannya tidak digunakan untuk melihat sesuatu yang haram. Pandangannya digunakan untuk mengambil hikmah dari apa yang terjadi di dunia.

Keempat, tangannya tidak digunakan untuk yang diharamkan.

Kelima, kaki dan langkahnya digunakan untuk sesuatu yang baik dan bukan untuk maksiat.

Keenam, hatinya tidak dipenuhi rasa kebencian dan permusahaan.

Ketujuh, taat kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan tidak takut kepada Allah karena untuk riya dan ingin dilihat orang lain.

Pos terkait