Purwakarta, KPonline – Kebijakan impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 kini terbukti menjadi bencana nasional bagi industri tekstil. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), ikon tekstil Indonesia yang pernah memasok H&M, Zara, hingga NATO, resmi dinyatakan bangkrut pada Oktober 2024. Perusahaan raksasa asal Sukoharjo itu tumbang dengan utang menumpuk sebesar Rp25 triliun, sementara nilai asetnya hanya tersisa Rp10 triliun.
Derita tak berhenti di angka. Iwan Kurniawan Lukminto, Presiden Direktur Sritex, ditangkap aparat penegak hukum pada Mei 2025 atas dugaan korupsi dan penyalahgunaan kredit bank negara senilai Rp692,98 miliar. Situasi diperparah oleh kebijakan impor longgar yang membuka keran masuknya produk tekstil murah dari China, menyebabkan produksi Sritex anjlok hingga 70 persen.
Dampaknya sungguh mengiris hati: 10.665 buruh di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang di-PHK, meninggalkan sekitar 44.000 jiwa tanpa nafkah. Kisah pilu mereka akan disuarakan langsung dalam program Indonesia Business Forum di tvOne malam ini, Rabu (11/6), pukul 20.00–21.00 WIB. Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih dan Ketua Exco Partai Buruh yang juga sekaligus Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPAMK-FSPMI) Purwakarta, memimpin rombongan buruh korban PHK dari Purwakarta untuk menyampaikan langsung kesaksian derita mereka.
“Anak kami putus sekolah. Dapur kami tidak lagi mengepul,” kata salah satu buruh perempuan yang akan tampil malam ini. Testimoni yang mewakili puluhan ribu suara sunyi.
Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat lebih dari 27.000 buruh tekstil kehilangan pekerjaan dalam setahun terakhir akibat banjirnya produk impor. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat pengangguran nasional meningkat ke angka 4,91% pada Agustus 2024, dengan sektor tekstil sebagai penyumbang terbesar.
Tak hanya itu, Bank Dunia memperingatkan ancaman baru: tarif resiprokal dari Amerika Serikat yang bisa mencapai 32% pada 2025, berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1% untuk setiap kenaikan 10% tarif. Ancaman ganda—ekspor tersendat, produksi dalam negeri mati suri.
Presiden Prabowo Subianto, yang sebelumnya berjanji akan mencabut Permendag 8/2024 jika terbukti merugikan rakyat, hingga hari ini belum merealisasikan komitmennya. Padahal, industri tekstil yang menyerap jutaan pekerja kini berada di ambang kehancuran total.
“Pertumbuhan ekonomi 5,1% pada 2024 seharusnya membuka lapangan kerja, bukan menjadi kuburan massal perusahaan nasional,” tegas Wahyu Hidayat.
Kami menyerukan pada pemerintah untuk bertindak! Hentikan banjir impor murah, lindungi industri nasional, dan selamatkan para buruh Indonesia. Jangan biarkan kebijakan salah arah ini terus membunuh masa depan bangsa.
Cabut Permendag 8/2024, Pak Prabowo. Setiap hari kebijakan ini tetap berlaku, satu lagi pabrik padam, satu lagi keluarga kehilangan harapan.