Perjalanan Rakyat Pekerja yang Tak Pernah Usai Dalam Mengejar Upah Layak

Perjalanan Rakyat Pekerja yang Tak Pernah Usai Dalam Mengejar Upah Layak
Media Perdjoeangan | Foto by Muazim Hidayat

Purwakarta, KPonline- Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah buruh nasional pada 2022 hanya sekitar Rp2,89 juta per bulan. Padahal, kebutuhan dasar untuk hidup layak di sebagian besar wilayah perkotaan telah menembus angka Rp4 juta hingga Rp6 juta per bulan. Artinya, banyak pekerja di Indonesia bekerja penuh waktu namun masih hidup di ambang garis kemiskinan kota.

Maka dari itu, istilah upah layak selalu menjadi isu utama serikat buruh. Namun, secara konseptual, apa sebenarnya yang dimaksud dengan upah layak?

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), decent wage atau upah layak adalah kompensasi yang mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, memberikan perlindungan sosial minimum, serta memungkinkan pekerja berpartisipasi secara bermartabat dalam kehidupan sosial.

Di Indonesia, konsep ini diakomodasi melalui Kebutuhan Hidup Layak (KHL) — dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Namun, serikat pekerja menilai formula KHL yang ditetapkan pemerintah sering kali tak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Kemudian, menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam pernyataannya, survei KHL yang dilakukan oleh serikat pekerja menunjukkan perbedaan signifikan dengan data resmi pemerintah.

“Berdasarkan survei kami, biaya hidup layak di wilayah Jabodetabek sudah menembus Rp7-9 juta per bulan. Sementara UMP 2025 yang ditetapkan pemerintah masih di kisaran Rp5 juta. Artinya, pekerja masih harus menambal kebutuhan dasar mereka dengan lembur, hutang, atau pengurangan kualitas hidup,” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, dikutip dari kspicitu.org.

Bahkan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyebut bahwa perjuangan menuntut upah layak adalah perlawanan terhadap sistem yang menilai tenaga kerja hanya sebagai biaya produksi.

“Upah bukan sekadar harga tenaga kerja. Ia adalah pengakuan atas nilai manusia,” tulis FSPMI dalam Media Perdjoeangan. “Perjuangan Menuntut Upah Layak”.

Alhasil, sejarah perjuangan buruh Indonesia tak pernah sepi dari aksi. Dari masa kolonial hingga saat ini, jalanan menjadi ruang artikulasi bagi rakyat pekerja dalam menuntut haknya.

Sehingga, pada akhir 2025, KSPI dan Partai Buruh mengumumkan mobilisasi besar-besaran menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5%. Aksi serentak dilakukan di 300 kabupaten/kota di 38 provinsi.

Tuntutan itu bukan tanpa alasan, namun merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 168, dan berdasarkan data inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok 2025.

Namun perlu digaris bawahi bahwa perjuangan rakyat pekerja mengejar upah layak tidak pernah mudah selama ini. Ada saja dinding-dinding besar yang berdiri di hadapan mereka. Mulai dari regulasi, politik ekonomi, dan ketimpangan struktur industri.

1. Regulasi yang Tidak Menguntungkan.

Setelah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU No.6/2023), formula pengupahan berubah. Kenaikan upah minimum kini dihitung berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks produktivitas tertentu.
Bagi serikat pekerja, ini berarti ruang tawar mereka semakin sempit.

2. Industri Padat Karya dan Tekanan Investasi.

Hal ini tampak jelas di sektor garmen dan manufaktur ringan. Perusahaan cenderung mencari cara mempertahankan mburuh, yaitu dari lembur tanpa bayaran, kontrak berulang, hingga penundaan kenaikan gaji.

3. Lemahnya Penegakan Hukum.

Meski regulasi tentang upah minimum sudah jelas, implementasinya di lapangan sering diabaikan. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2023 terdapat lebih dari 2.000 laporan pelanggaran upah minimum di seluruh Indonesia, sebagian besar tidak ditindak tegas karena alasan administratif.

Untuk itu, serikat pekerja menyadari bahwa demonstrasi hanyalah satu dari sekian alat perjuangan. Kini mereka memperkuat basis data dan advokasi kebijakan.

Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Mandiri. 

KSPI dan FSPMI melakukan survei langsung di pasar-pasar, mencatat harga bahan pokok, sewa kontrakan, biaya transportasi, dan pendidikan. Hasil survei menjadi dasar argumentasi ilmiah dalam rapat dewan pengupahan daerah.

Dialog dan Advokasi di DPRD serta Kementerian. 

Buruh mendesak pemerintah agar formula upah minimum kembali mempertimbangkan standar hidup layak, bukan hanya angka makro ekonomi.

Kampanye Publik. 

Melalui media sosial dan aksi kreatif, serikat pekerja berupaya mengubah persepsi publik bahwa perjuangan upah bukan sekadar kepentingan kelompok, tetapi bagian dari agenda nasional keadilan sosial.

• Solidaritas Lintas Daerah. 
Aksi serentak di 38 provinsi pada 2025 diharapkan menjadi simbol bahwa isu upah layak adalah perjuangan bersama, bukan lokal. “Dari Batam sampai Jayapura, buruh bersuara satu”.

Disisi lain, pemerintah sendiri berdalih bahwa ruang fiskal dan daya saing industri menjadi batas kenaikan upah.
Dalam pernyataan resmi Kementerian Ketenagakerjaan (Antara, November 2024), disebutkan bahwa kenaikan UMP 2025 rata-rata 6,5% didasarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi.

“Kenaikan ini mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli pekerja dan keberlanjutan usaha,” kata Menteri Ketenagakerjaan pada saat itu.

Namun, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa inflasi harga pangan pada 2024 mencapai 6,1%, sementara biaya transportasi naik 8,2%. Artinya, kenaikan 6,5% hanya sekadar menjaga daya beli, belum meningkatkan kesejahteraan.

Pakar ekonom pun menyebut bahwa upah buruh di Indonesia masih termasuk yang terendah di Asia Tenggara, hanya lebih tinggi sedikit dari Kamboja dan Myanmar.

Dan seiring berjalannya waktu, Generasi muda pekerja kini memasuki pasar kerja dengan kesadaran baru. Mereka tidak hanya menuntut kenaikan gaji, tetapi juga transparansi, keamanan kerja, dan penghargaan atas waktu hidup mereka.

Bagi mereka, upah layak berarti bisa menabung, membiayai pendidikan anak, dan menikmati waktu tanpa rasa cemas.
Singkatnya, upah layak bukan cuma soal nominal. Kami ingin hidup yang manusiawi.

Setidaknya, Perjalanan rakyat pekerja dalam mengejar upah layak masih panjang. Tapi jalan itu kini semakin terorganisir dan terencana.

KSPI, KSPSI, FSPMI, dan serikat-serikat lainnya kini mendorong lahirnya Rancangan Undang-Undang Pengupahan yang Baru, yang diharapkan memulihkan filosofi keadilan sosial dalam hubungan kerja.

Selain itu, tuntutan agar formula pengupahan mencantumkan komponen KHL riil juga mulai diakomodasi dalam diskusi antara Kementerian Ketenagakerjaan, serikat, dan pengusaha.

“Selama rakyat pekerja masih harus memilih antara makan dan sekolah anak, perjuangan belum selesai”

Sejak era awal industrialisasi, rakyat pekerja Indonesia telah berjalan jauh. Dari perjuangan 1 Mei 1948 di Surabaya, hingga 1 Mei 2025 di Monas Jakarta, esensinya sama yaitu mereka ingin dihargai secara manusiawi.

Upah layak bukan sekadar hak ekonomi. Ia adalah simbol keadilan, ukuran dari martabat bangsa yang menghormati keringat rakyatnya.

Selama masih ada buruh yang gajinya tak cukup untuk hidup layak, selama masih ada keluarga pekerja yang berhemat di meja makan, selama itu pula perjalanan ini akan terus berlangsung. Perjalanan yang tak pernah berhenti, dimana rakyat pekerja yang terus mengejar mimpi sederhana yakni hidup layak di negeri sendiri.