Penggabungan NPWP Suami Istri, Ini Kelebihan dan Kekurangannya

Penggabungan NPWP Suami Istri, Ini Kelebihan dan Kekurangannya
Jakarta,KPonline – Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan prinsip keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi, pasangan suami istri yang sudah menikah memiliki pilihan untuk menggabungkan NPWP (NPWP istri dinonaktifkan dan digabung ke NPWP suami)
Atau memisahkan NPWP (masing-masing punya NPWP sendiri, dengan status Pisah Harta/PH atau Menjalankan Kewajiban Terpisah/MT). Penggabungan ini tidak wajib, tapi sering direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terutama jika keduanya bekerja sebagai karyawan. Prosesnya kini mudah melalui sistem Coretax (berlaku penuh untuk SPT Tahunan mulai tahun pajak 2025).Apakah ada perbedaan jika suami istri bekerja di perusahaan yang sama atau berbeda?Tidak ada perbedaan signifikan.

Dampak penggabungan NPWP sama saja, baik bekerja di perusahaan sama maupun berbeda. Yang penting adalah penghasilan keduanya (biasanya dari gaji karyawan) tetap digabung untuk perhitungan pajak, dan pemotongan PPh 21 dilakukan oleh masing-masing perusahaan secara terpisah.Kelebihan Menggabungkan NPWPPenggabungan sering lebih menguntungkan, terutama bagi pasangan karyawan dengan penghasilan stabil.

Berikut manfaat utamanya:

Bacaan Lainnya

Penghematan Pajak yang Signifikan

Penghasilan istri (jika dari satu pemberi kerja) dianggap sebagai penghasilan final (tidak dihitung ulang dengan tarif progresif). Hasilnya, pajak terutang total keluarga lebih rendah karena menghindari “penghitungan ulang” yang bisa mendorong penghasilan gabungan ke lapisan tarif pajak lebih tinggi (tarif progresif PPh Pasal 17 UU HPP).
Contoh: Jika terpisah, sering muncul kurang bayar di SPT tahunan masing-masing. Jika digabung, SPT suami sering nihil (tidak ada tambahan bayar).

Administrasi Lebih Sederhana dan Efisien
Hanya satu SPT Tahunan yang dilaporkan (oleh suami sebagai kepala keluarga). Istri tidak perlu lapor SPT sendiri.
Di Coretax, data penghasilan dan potongan pajak otomatis terintegrasi, mengurangi risiko kesalahan.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Lebih Optimal
PTKP suami menjadi status Kawin (K/0 atau dengan tanggungan), yang lebih besar daripada jika terpisah.
Hindari Risiko Kurang Bayar
Potongan PPh 21 bulanan oleh perusahaan sudah final untuk penghasilan istri, tanpa penyesuaian di akhir tahun.

Kekurangan Menggabungkan NPWP

Meski banyak kelebihannya, ada beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan:

Tanggung Jawab Bersama
Semua kewajiban pajak (termasuk sanksi jika ada pelanggaran) menjadi tanggung jawab suami sebagai pemegang NPWP utama. Jika ada masalah (misalnya audit), berdampak pada keduanya.

Kurangnya Independensi
Istri kehilangan kontrol penuh atas urusan pajak pribadinya. Jika ada perbedaan pendapat atau perceraian di masa depan, bisa rumit.
Potensi Pajak Lebih Tinggi di Kasus Tertentu
Jika total penghasilan keluarga sangat tinggi dan masuk lapisan tarif tertinggi, penggabungan bisa membuat pajak sedikit lebih besar (jarang terjadi pada karyawan biasa). Juga, jika istri punya penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas (bukan karyawan), perhitungannya lebih kompleks.

Perbandingan dengan Memisahkan NPWP

Aspek
Menggabungkan NPWP (Rekomendasi DJP)
Memisahkan NPWP (PH/MT)
Pelaporan SPT
Hanya 1 SPT (oleh suami)
2 SPT terpisah (masing-masing lapor)
Beban Pajak
Biasanya lebih rendah (hindari kurang bayar)
Biasanya lebih tinggi (penghitungan proporsional gabungan)
Administrasi
Sangat sederhana
Lebih rumit (hitung ulang proporsi)
Risiko
Tanggung jawab bersama
Independensi lebih tinggi, tapi risiko kurang bayar besar
Cocok untuk
Karyawan dengan penghasilan stabil
Jika ada pemisahan harta resmi atau kebutuhan independensi
Contoh Simulasi Perhitungan Pajak Penghasilan Suami Istri (Gabungan vs Terpisah)

Untuk tahun pajak 2025, peraturan pajak penghasilan (PPh Pasal 21 dan SPT Tahunan) masih mengacu pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP No. 7/2021) dan PMK 101/2016 untuk PTKP (belum ada perubahan signifikan hingga akhir 2025).Asumsi kasus simulasi (kasus umum karyawan dengan 1 anak tanggungan):

  • Suami: Penghasilan neto tahunan (setelah dikurangi biaya jabatan/iuran pensiun) = Rp 200.000.000
  • Istri: Penghasilan neto tahunan = Rp 150.000.000
  • Total penghasilan neto keluarga = Rp 350.000.000
  • Status: Kawin dengan 1 anak (tanggungan 1 orang)
  • Kedua penghasilan dari karyawan (satu pemberi kerja masing-masing), sehingga pemotongan PPh 21 bulanan menggunakan Tarif Efektif Rata-rata (TER).
  • Di akhir tahun (SPT Tahunan), perhitungan final menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU HPP.

Besaran PTKP 2025:

  • WP pribadi: Rp 54.000.000
  • Tambahan kawin: Rp 4.500.000
  • Tambahan istri (jika digabung): Rp 54.000.000
  • Tambahan per tanggungan (maks 3): Rp 4.500.000

Tarif Progresif PPh Pasal 17 (tahunan):

  • Sampai Rp 60.000.000: 5%
  • Rp 60.000.000 – Rp 250.000.000: 15%
  • Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000: 25%
  • Rp 500.000.000 – Rp 5.000.000.000: 30%
  • Di atas Rp 5.000.000.000: 35%

1. Penggabungan NPWP (Rekomendasi DJP – NPWP Istri dinonaktifkan, digabung ke suami)

  • PTKP total keluarga (status K/I/1): Rp 54 juta (WP) + Rp 54 juta (istri) + Rp 4,5 juta (kawin) + Rp 4,5 juta (tanggungan) = Rp 117.000.000
  • Penghasilan Kena Pajak (PKP): Rp 350 juta – Rp 117 juta = Rp 233.000.000
  • PPh terutang tahunan:
    • 5% × Rp 60 juta = Rp 3.000.000
    • 15% × Rp 173 juta (Rp 233 juta – Rp 60 juta) = Rp 25.950.000
    • Total PPh terutang: Rp 28.950.000
  • Keuntungan: Penghasilan istri dianggap final (pemotongan bulanan oleh perusahaan istri sudah final, tidak dihitung ulang progresif). SPT hanya 1 (oleh suami), sering nihil/kurang bayar kecil.

2. NPWP Terpisah (Pisah Harta/PH atau Memilih Terpisah/MT)

  • Penghitungan tetap gabung dulu untuk PPh terutang total, tapi PTKP lebih rendah (tidak ada tambahan Rp 54 juta untuk istri).
  • PTKP efektif gabungan (K/1 tanpa tambahan istri): Rp 54 juta + Rp 4,5 juta (kawin) + Rp 4,5 juta (tanggungan) = Rp 63.000.000
  • PKP gabungan: Rp 350 juta – Rp 63 juta = Rp 287.000.000
  • PPh terutang total keluarga:
    • 5% × Rp 60 juta = Rp 3.000.000
    • 15% × Rp 190 juta = Rp 28.500.000
    • 25% × Rp 37 juta (Rp 287 juta – Rp 250 juta) = Rp 9.250.000
    • Total PPh terutang: Rp 40.750.000
  • Kemudian dibagi proporsional berdasarkan penghasilan masing-masing:
    • Proporsi suami: 200/350 ≈ 57,14% → Pajak suami: ≈ Rp 23.275.000
    • Proporsi istri: 150/350 ≈ 42,86% → Pajak istri: ≈ Rp 17.475.000
  • Kerugian: Pajak total lebih tinggi Rp 11.800.000 dibanding gabungan. Sering muncul kurang bayar di SPT masing-masing karena pemotongan bulanan TER tidak antisipasi penggabungan.

Perbandingan Ringkas

Aspek
Gabungan NPWP
Terpisah NPWP (PH/MT)
PTKP Total
Rp 117.000.000 (termasuk tambahan istri)
Rp 63.000.000 (tanpa tambahan istri)
PKP
Rp 233.000.000
Rp 287.000.000
PPh Terutang Total
Rp 28.950.000
Rp 40.750.000
Selisih Pajak
Lebih hemat Rp 11.800.000
Lebih mahal
Administrasi
1 SPT (mudah)
2 SPT (proporsional, rumit)
Risiko Kurang Bayar
Rendah (penghasilan istri final)
Tinggi
Kesimpulan: Untuk kasus karyawan biasa seperti ini, penggabungan NPWP jauh lebih menguntungkan (hemat pajak signifikan + administrasi sederhana). Jika penghasilan sangat tinggi atau ada pemisahan harta resmi, simulasi ulang diperlukan (bisa konsultasi Kring Pajak 1500200).Catatan: Angka di atas adalah simulasi sederhana (asumsi neto sudah bersih). Pajak aktual tergantung bukti potong A1/e-Bupot dari perusahaan

Bagi kebanyakan pasangan suami istri yang keduanya bekerja sebagai karyawan (baik di perusahaan sama atau berbeda), menggabungkan NPWP lebih menguntungkan: hemat pajak, mudah administrasi, dan minim risiko kurang bayar. DJP sendiri mendorong ini melalui fitur Family Tax Unit di Coretax.

Namun, keputusan akhir tergantung kondisi keluarga Anda:Jika penghasilan tinggi atau ada pemisahan harta resmi → Pertimbangkan pisah.
Selalu lakukan simulasi perhitungan pajak terlebih dahulu (bisa konsultasi ke Kring Pajak 1500200 atau konsultan pajak).

Pos terkait