Agustus adalah bulan dengan warna khas: merah putih berkibar di setiap sudut kampung, gapura dihiasi cat baru, lomba-lomba memecah tawa anak-anak, dan pidato-pidato merayakan kemerdekaan menggema dari balai desa hingga layar televisi. Tahun ini lebih istimewa: Indonesia mencapai usia 80 tahun merdeka. Delapan dekade sejak proklamasi dibacakan, delapan dekade sejak penjajah asing angkat kaki dari tanah air.
Namun, di tengah gegap gempita itu, Kabupaten Pati memilih merayakan kemerdekaannya dengan cara berbeda: turun ke jalan. Ribuan warga dari berbagai lapisan masyarakat, dari petani, pedagang, buruh, hingga mahasiswa, hari ini ( 13/8) bersatu dalam satu tuntutan: menghentikan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai mencekik, dan mendesak mundurnya Bupati Sudewo yang dianggap arogan dalam merespons keluhan rakyat.
Kebijakan itu sebenarnya sudah dibatalkan. Kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen yang semula diberlakukan kini telah dicabut. Namun, kemarahan warga belum padam. Mereka tidak hanya menuntut pembatalan kebijakan, tetapi juga mempertanyakan kelayakan seorang pemimpin yang, di awal kontroversi, menantang rakyatnya dengan ucapan, “Mau bawa demo 50.000 orang pun saya tak takut.” Kalimat itu, yang mungkin diucapkan dalam ruang terbatas, telah bergema ke seluruh pelosok Pati, menjadi simbol jarak yang semakin lebar antara rakyat dan pemimpinnya.
Ironi ini mencolok. Salah satu alasan rakyat Indonesia bangkit melawan penjajah pada awal abad ke-20 adalah beban pajak tanah yang menindas. Di bawah sistem pajak kolonial, setiap jengkal tanah yang digarap petani adalah sumber pungutan yang tak jarang membuat mereka kehilangan tanah warisan keluarga. Beban itu mendorong perlawanan di banyak daerah dari Banten, Priangan, hingga Jawa Tengah yang pada akhirnya menggelinding menjadi perjuangan nasional.
Kini, di tanah yang katanya merdeka, rakyat kembali berhadapan dengan kebijakan pajak tanah yang membebani. Bedanya, pajak itu bukan lagi untuk membiayai pemerintah kolonial di negeri jauh, melainkan masuk ke kas pemerintah daerah yang pemimpinnya berasal dari tanah yang sama. Penjajahan berganti wajah: dari seragam kolonial menjadi jas, dasi, dan pin lambang daerah.
Bagi banyak warga Pati, ini bukan hanya soal nominal pajak. Ini soal martabat, soal perasaan dilihat dan dihargai oleh pemimpinnya. Kebijakan yang mencekik diambil tanpa dialog yang memadai, dan ketika kritik datang, yang muncul bukan empati melainkan tantangan. Ini memperkuat kesan bahwa kekuasaan telah menjadi menara gading, terputus dari realitas rakyat yang setiap hari harus memeras keringat di sawah dan pasar untuk sekadar bertahan hidup.
Di banyak daerah, situasi serupa sebenarnya bisa ditemukan. Kebijakan publik sering dibuat secara teknokratis, berbicara dengan angka-angka dan target pendapatan, tanpa mempertimbangkan daya tahan rakyat. Yang membedakan Pati adalah respons rakyatnya: mereka memilih untuk bersatu, mengorganisir diri, dan menyuarakan penolakan secara terbuka dan masif.
Pati hari ini adalah ujian bagi demokrasi lokal. Jika rakyat Pati berhasil membuat pemimpinnya tunduk pada aspirasi rakyat—entah melalui pembatalan kebijakan, permintaan maaf, atau bahkan pengunduran diri—itu akan menjadi pesan kuat bagi kepala daerah lain di seluruh Indonesia: kekuasaan adalah mandat, bukan hak milik pribadi.
Namun, jika rakyat Pati gagal, maka pesan yang sampai justru sebaliknya: bahwa kekuasaan bisa mengabaikan suara rakyat tanpa konsekuensi berarti. Efeknya bisa merembet ke daerah lain: semangat partisipasi publik melemah, apatisme tumbuh, dan jurang antara rakyat dan penguasa semakin lebar.
Delapan puluh tahun adalah usia yang matang bagi sebuah negara. Namun kematangan itu seharusnya tercermin bukan hanya pada infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, atau capaian diplomatik, melainkan juga pada kualitas hubungan antara pemerintah dan rakyatnya.
Apakah kemerdekaan hanya berarti bebas dari bendera asing yang berkibar di tanah kita? Ataukah juga berarti bebas dari kebijakan yang sewenang-wenang, bebas dari pemimpin yang arogan, dan bebas dari kebijakan publik yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan tahunan?
Bagi rakyat Pati, jawabannya jelas: kemerdekaan belum tuntas jika rakyat masih harus berjuang melawan ketidakadilan dari pemimpinnya sendiri. Dan mungkin, jika kita jujur, banyak daerah lain di Indonesia yang akan setuju.
Apa yang terjadi di Pati bukan sekadar urusan lokal. Ini adalah cermin bagi seluruh Indonesia. Pati mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah sekali jadi, melainkan proses yang harus dijaga setiap hari. Bahwa penjajahan bisa datang lagi, bukan dari luar, melainkan dari dalam, melalui kebijakan yang menindas dan sikap kekuasaan yang merendahkan rakyatnya.
Jika rakyat Pati menang, itu akan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk berani bersuara.
Merdeka bukan sekadar kata yang diucap dengan lantang setiap 17 Agustus, tapi kondisi yang harus diperjuangkan setiap hari termasuk melawan “penjajah” yang kini berwajah sebangsa.