Indonesia, negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawi,” tapi nyatanya, makin banyak anak mudanya yang antre jadi buruh di negeri orang. Miris? Mungkin. Tapi itulah potret negeri agraris yang kehilangan akarnya: tanah luas tapi tak menghasilkan pangan, laut luas tapi nelayannya kelaparan, pemuda banyak tapi tak ada kerja untuk mereka.
Kita sedang hidup di tengah kemiskinan yang bukan karena malas, tapi karena sistem. Di desa-desa, tanah subur sudah berubah jadi kawasan industri dan perumahan elit yang tak bisa dibeli bahkan oleh penduduk desa itu sendiri. Hutan ditebang, laut direklamasi, sawah disemen. Lalu negara dengan bangga berkata: “Kami sedang membangun.” Membangun siapa? Untuk siapa?
Dampak dari pembangunan yang salah arah itu jelas: pengangguran melonjak. Ada 7,28 juta orang per Februari 2025 jumlah pengangguran. Mayoritas adalah anak muda. Mereka yang katanya “bonus demografi” — sebutan manis untuk manusia-manusia muda yang kenyataannya cuma jadi bonus statistik, bukan bonus ekonomi.
Dan ketika pekerjaan dalam negeri tak tersedia, apa saran negara? “Jadilah pahlawan devisa!” Kirim lebih banyak TKI, TKW, ABK, pekerja rumah tangga ke luar negeri. Biarkan mereka kerja siang malam, digaji murah, disiksa majikan, lalu kirim uang ke kampung. Negara bisa tepuk tangan karena neraca devisa bertambah. Padahal, itu bukan pembangunan. Itu pelepasan tanggung jawab.
Nelayan-nelayan muda yang dulu bangga menangkap ikan di laut sendiri kini lebih memilih menjadi ABK di kapal berbendera asing. Kenapa? Karena laut kita sudah dikeruk kapal besar. Karena ikan lebih banyak di sana—atau minimal, gaji yang menjanjikan meski nyawa jadi taruhannya.
Sayangnya, yang mereka temukan bukan kesejahteraan, tapi neraka modern. Disiksa, dipekerjakan hingga 20 jam, gaji dipotong, paspor disita. Dan ketika mereka pulang dalam peti mati, yang datang cuma pelayat keluarga. Negara diam. Polisi sibuk “meneliti lebih lanjut.” Pejabat hanya minta “doa dan dukungan.” Pelaku perdagangan orang? Bebas melenggang, kadang malah naik pangkat.
Dan ya, jangan lupa: sebagian besar korban perdagangan orang adalah ABK, disusul oleh pekerja rumah tangga migran dan korban dari skema penipuan online yang makin marak. Tapi selama uang tetap mengalir, negara pura-pura tidak tahu.
Lalu kepada generasi muda: apakah salah jika kalian memilih pergi ke luar negeri?
Tidak. Sama sekali tidak. Dalam negeri tidak memberi ruang. Janji-janji pekerjaan hanya ada di baliho kampanye. Jadi, jika peluang itu tidak ada di tanah air, maka carilah di tempat lain. Tak ada yang hina dalam mencari makan, asal dengan jalan yang sah dan sadar.
Tapi jangan jadi korban lagi. Pergilah dengan bekal pengetahuan. Gunakan jalur resmi. Tuntut hak kalian. Jangan cuma jadi korban industri perdagangan manusia yang berkedok penempatan kerja. Dan jika suatu hari kalian sukses di luar negeri, jangan lupakan tanah ini yang membuat kalian terpaksa pergi.
Karena bangsa ini terlalu sering memuliakan “pahlawan devisa,” tapi terlalu pelit memberi perlindungan hukum. Terlalu cepat mengirim warganya keluar negeri, tapi terlalu lambat menyelamatkan mereka saat teraniaya. Negara bisa kirim TKA dengan jet pribadi, tapi lupa menjemput jenazah ABK dengan hormat.
Ironis? Sudah pasti. Tapi jangan berharap keadilan datang dari atas. Bangun kekuatan dari bawah. Dorong komunitas, edukasi sesama, dan paksa negara untuk bertanggung jawab. Karena kalau tidak, kita semua hanya sedang mengantri jadi “ekspor manusia”—dikirim murah, dikembalikan tanpa nama.