Purwakarta, KPonline – Di tengah desakan buruh yang menuntut kenaikan upah layak, Kementerian Ketenagakerjaan sampai saat ini belum menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Penundaan ini pun memantik kecurigaan dan opini liar. Apakah negara sedang menimbang nasib kelas pekerja, atau merajut alasan untuk menenangkan pengusaha?
Pemerintah lewat Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan satu kata kunci yang menjadi alasan teknis penundaan pengumuman kenaikan upah yang biasanya diumumkan pada 21 November setiap tahunnya adalah aturan baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengupahan sedang dirumuskan. PP itu akan mengganti model angka tunggal UMP menjadi formula dan rentang yang mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) serta kondisi wilayah. Pemerintah berjanji angka baru akan berlaku mulai Januari 2026 dan pengumuman dilakukan sebelum 31 Desember 2025. Namun janji itu tak serta-merta meredakan kegelisahan buruh.
Dari barisan pekerja, suara protes tak pelan melainkan lantang. Serikat buruh dari berbagai Federasi menuntut kenaikan 8,5–10,5 persen sebagai upaya menjaga daya beli. Bagi mereka, formula teknis yang digodok pemerintah tampak berbahaya bila justru menjadi celah untuk menahan atau mereduksi tuntutan pekerja melalui kompromi yang menguntungkan modal.
Analisis cepat dari berbagai pihak menunjukkan dua kemungkinan yang saling bertengkar. pertama, penundaan benar-benar karena penyesuaian setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan perhitungan KHL dan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses penetapan upah. Kemudian, kedua adalah manuver politis-ekonomi untuk menengahi kepentingan pengusaha dan menunda kemenangan nyata bagi buruh. Beberapa pengamat pun mengingatkan bahwa perubahan aturan harus transparan agar tidak jadi alat legitimasi ketidakadilan.
Dalam praktiknya, pengumuman yang molor memberi ruang manuver: kepala daerah dan Dewan Pengupahan Daerah kini diberi kewenangan lebih besar untuk mengusulkan kenaikan UMP berdasarkan kondisi lokal sebagai sebuah langkah yang dapat dilihat ganda.
Di satu sisi, desentralisasi bisa berarti penyesuaian yang adil sesuai kebutuhan daerah. Di sisi lain, ini juga membuka peluang ketimpangan. Dimana, daerah kuat bisa menaikkan, daerah lemah tetap tertinggal. Di sinilah politik upah menjadi medan pertempuran elit yang menentukan nasib pekerja kecil.
Apa yang bisa dituntut barisan pekerja sekarang? Pertama, keterbukaan proses penyusunan PP: komponen KHL harus jelas sumber datanya dan mekanisme validasinya. Kedua, partisipasi aktif serikat dalam setiap meja perumusan agar suara buruh tak sekadar jadi pelengkap. Ketiga, penetapan rentang kenaikan wajib disertai jaminan bahwa kepala daerah tak menggunakan celah itu untuk menekan angka ke bawah. Tanpa tiga hal ini, formula hanyalah kata teknis yang dipakai untuk meredam tuntutan riil.
Sementara itu, masyarakat pekerja tak lagi cuma menunggu. Kini mereka berkumpul, berdebat, dan mengorganisir. Bara kemarahan bisa menjadi bara perubahan jika diarahkan secara kolektif, seperti aksi solidaritas, desakan ke DPR dan Kemenaker, serta publikasi bukti-bukti KHL riil. Jika tidak, penundaan ini berisiko berubah jadi fenomena tahunan dimana regulasi baru lagi-lagi menunda keadilan sosial.
Pada akhirnya, ketika negara menunda keputusan, yang paling merana adalah mereka yang setiap hari menggerakkan mesin produksi yakni rakyat pekerja. Jika Kemenaker ingin menenangkan kegaduhan, jalan paling jujur adalah membuka semua data, mempercepat dialog yang inklusif, dan menetapkan angka yang bisa menjawab kebutuhan hidup layak bukan sekadar meminimalkan komplain. Itu yang mungkin ditunggu dari barisan rakyat pekerja. Bukan janji, tetapi tindakan konkret.