Jakarta, KPonline – Sampai saat ini, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) terus-menerus menyuarakan tuntutan penghapusan sistem outsourcing atau alih daya. Bagi FSPMI, tuntutan ini bukan sekadar jargon gerakan buruh, melainkan reaksi terhadap praktik ketenagakerjaan yang, menurut serikat, menimbulkan ketidakpastian kerja, upah rendah, dan hilangnya perlindungan hak-hak dasar pekerja.
Salah satu argumen paling sering diulang FSPMI adalah outsourcing menciptakan hubungan kerja yang rapuh. Pekerja alih daya biasanya dipekerjakan lewat pihak ketiga dengan durasi kontrak pendek. Sehingga, kondisi ini membuat kepastian kerja rendah, bahkan pekerja bisa kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu tanpa jaminan perpanjangan atau pesangon setara pekerja tetap. Dan dampak langsungnya adalah tekanan ekonomi dan ketidakmampuan merencanakan kehidupan jangka panjang.
Tak hanya itu, FSPMI pun menyorot adanya perbedaan nyata antara hak pekerja tetap dan pekerja outsourcing. Dalam praktiknya, pekerja alih daya kerap tidak memperoleh tunjangan kesehatan, jaminan sosial yang memadai, cuti, atau akses ke program pelatihan dan jenjang karier yang sama meskipun mereka melakukan tugas yang serupa di lokasi kerja yang sama. Ketimpangan ini dianggap melemahkan prinsip keadilan dalam hubungan industrial.
Sumber-sumber sejarah aksi buruh dan analisis hukum mencatat bahwa outsourcing sering dimanfaatkan untuk menekan biaya, termasuk skema upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Perusahaan penyedia tenaga kerja kadang memotong sebagian hak atau menerapkan skema upah yang tidak adil, sehingga kesejahteraan pekerja terdampak negatif. Argumen ini menjadi salah satu dasar tuntutan FSPMI dalam berbagai aksi massa.
Selanjutnya, selain dampak material, efek struktural outsourcing juga menjadi perhatian serius. Ketika sebagian tenaga kerja ditempatkan sebagai alih daya, keanggotaan serikat pekerja terfragmentasi. Dimana, pekerja alih daya sering sulit bergabung atau aktif dalam serikat karena tekanan dari kontraktor atau takut kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemampuan kolektif buruh untuk menegosiasikan kondisi kerja yang lebih baik melemah. Beberapa kajian akademis dan laporan lapangan juga menyebut bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang menyulitkan keberlangsungan serikat pekerja.
Secara hukum, istilah dan batasan penggunaan outsourcing di Indonesia mengalami perkembangan. Dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, istilah “alih daya” disusun sedemikian rupa sehingga berpengaruh pada siapa dan bagaimana outsourcing dapat diterapkan. Kelompok buruh menilai ketentuan tersebut masih memberi celah luas bagi praktik outsourcing yang meluas; di sisi lain, ada wacana politik untuk membatasi atau menghapus model ini secara lebih tegas. Perdebatan hukum inilah yang membuat tuntutan FSPMI tidak hanya bersifat ekonomi, melainkan juga masalah legislasi.
Tuntutan penghapusan outsourcing sering muncul pada momen aksi buruh nasional, termasuk peringatan Hari Buruh, dimana FSPMI dan konfederasi buruh lain menuntut penghapusan outsourcing dan penolakan “upah murah”. Isu ini juga sempat masuk ke wacana politik, yang mana beberapa tokoh publik menyatakan dukungan untuk mereformasi atau bahkan menghapus praktik outsourcing sesuai tuntutan buruh. Upaya advokasi tersebut memadukan aksi lapangan, perlawanan hukum, dan lobi kebijakan.
Namun, meski suara buruh kuat, terdapat juga argumen dari pengusaha dan beberapa ekonom bahwa alih daya dapat meningkatkan fleksibilitas perusahaan, menurunkan biaya operasional, dan mendorong efisiensi, terutama untuk pekerjaan non-inti. Oleh sebab itu beberapa pihak mengusulkan solusi tengah, yaitu bukan penghapusan total, melainkan pembatasan penggunaan outsourcing untuk pekerjaan tertentu dan penegakan standar perlindungan hak bagi pekerja alih daya.
Intinya, tuntutan FSPMI untuk menghapus outsourcing dilatari oleh kombinasi alasan praktis dan struktural, yakni mitigasi ketidakpastian kerja, penghapusan diskriminasi hak-hak pekerja, peningkatan upah dan kesejahteraan, serta memperkuat solidaritas serikat.
Bagi FSPMI, menghapus atau sangat membatasi sistem outsourcing merupakan langkah untuk menegakkan hubungan industrial yang lebih baik dan adil. Namun, perubahan itu juga harus melewati debat hukum dan politik yang kompleks, serta kemungkinan kompromi yang melibatkan pembatasan penggunaan outsourcing dan peningkatan perlindungan bagi pekerja alih daya.