Jakarta, KPonline – Gerakan buruh di Indonesia bukan sekadar rentetan demonstrasi, melainkan perjalanan panjang antara memori dan hegemoni, antara ingatan yang terus dijaga dan kekuasaan yang berusaha menghapusnya.
Di tangan para rakyat pekerja, waktu pernah berhenti. Pada sebuah November yang merah, langkah-langkah kaki menandai jalan menuju gedung-gedung kekuasaan. Spanduk kain bertuliskan “Upah Layak adalah Martabat” berkibar seperti bendera perang. Saat itu, gerakan buruh bukan sekadar gerakan ekonomi, melainkan politik moral mewakili tekad rakyat pekerja untuk tidak lagi diperlakukan sebagai roda, tetapi sebagai penggerak.
Namun, sejarah bukanlah ruang yang statis. Hegemoni dalam bentuk kebijakan, dalam wujud regulasi, dalam rupa kata-kata indah dari penguasa pelan-pelan menenggelamkan makna perjuangan. Gerakan buruh yang dulu digerakkan oleh ide solidaritas dan kesetaraan kini berhadapan dengan tantangan yang lebih halus yaitu kooptasi, fragmentasi, dan banalitas perlawanan. Di media sosial, perjuangan pun sering disulap menjadi poster lucu atau slogan yang kehilangan konteks.
Dibalik itu, memori tetap hidup walau terbungkus abu waktu. Di ruang-ruang rapat serikat, diantara dokumen lama dan foto demonstrasi, para buruh senior masih menyebut nama-nama yang dulu menjadi legenda.
Hegemoni bekerja dalam diam. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk represi kasar, tetapi seringkali dalam bentuk “normalisasi”. Saat buruh dipaksa percaya bahwa kerja tanpa batas adalah pengabdian, saat kontrak tanpa kepastian disebut “fleksibilitas”, disitulah kekuasaan mengatur cara berpikir. Gramsci mungkin benar, “Penguasa yang paling kuat adalah yang bisa membuat rakyatnya setuju dengan penindasan tanpa merasa tertindas”.
Namun, memori memiliki daya hidupnya sendiri. Ia menembus kebijakan dan propaganda. Ia tumbuh di setiap kesadaran baru yang lahir dari ketidakadilan, terutama ketidakadilan dalam hal upah. Ketika generasi muda buruh hari ini membaca kembali sejarah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), atau Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), mereka tidak hanya menemukan data. Tetapi mereka menemukan jiwa. Sebuah kesadaran bahwa gerakan buruh bukan sekadar alat tawar-menawar, tetapi ruang untuk mempertahankan kemanusiaan.
Kini, di era digital dan disrupsi industri, bentuk perjuangan berubah. Demonstrasi bisa dilakukan di ruang virtual, dan solidaritas lahir dari jaringan, bukan hanya jalanan. Tapi substansinya tetap sama yakni menuntut agar manusia tidak kehilangan harga dirinya di tengah mesin-mesin ekonomi. Sebab, buruh bukan beban negara, melainkan denyut nadi bangsa yang bekerja.
Di setiap November, derap langkah kembali memenuhi jalan-jalan kota. Diantara suara musik, orasi, dan kibaran bendera, terselip rasa yang lebih dalam: nostalgia atas masa ketika perjuangan upah begitu murni dan solidaritas begitu nyata. Disanalah memori bekerja, mengingatkan bahwa hegemoni bukan untuk ditakuti, melainkan dilawan dengan kesadaran.
Dan mungkin, seperti yang ditulis seorang penyair buruh di tahun 1980-an:
“Kami bukan bayangan sejarah yang lewat di trotoar negeri ini. Kami adalah nafas yang membuat roda berputar, Kami adalah tangan-tangan yang menulis kembali arti merdeka”
Gerakan buruh di Indonesia adalah kisah tentang kehilangan dan penemuan kembali tentang bagaimana ingatan dijaga di tengah arus lupa. Dalam setiap generasi, selalu ada mereka yang memilih untuk tidak diam. Mereka yang percaya bahwa keadilan bukan sekadar pasal, melainkan pengalaman yang harus diperjuangkan.
Hegemoni mungkin bisa menundukkan bentuk perlawanan, tapi tidak bisa memadamkan api di dalamnya. Karena selama masih ada satu buruh yang mengingat, maka gerakan itu masih ada.
Singkatnya, di bawah langit yang pernah merah itu, memori dan hegemoni terus bertarung. Dan disanalah, sejarah buruh Indonesia menulis dirinya sendiri berulang kali, dengan tinta perjuangan yang tak pernah kering.