Jakarta, KPonline – Tanggal 4 September 2025, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar workshop bertema “Menata Ulang Masa Depan: Mewujudkan Transisi yang Adil Menuju Ekonomi Hijau.” Dalam forum tersebut, KSPI menegaskan kembali bahwa transisi energi bukan hanya isu teknis tentang mengganti sumber energi dari fosil ke energi terbarukan, melainkan juga isu sosial dan ketenagakerjaan. Prinsip just transition atau transisi yang adil harus menjadi dasar agar buruh tidak menjadi korban perubahan.
Transisi energi akan berdampak luas pada struktur industri dan pasar kerja. Di Jakarta, yang menjadi pusat industri manufaktur, perdagangan, transportasi, dan energi, jutaan buruh menggantungkan hidupnya pada sektor-sektor yang sedang atau akan mengalami perubahan besar. Jika transisi dilakukan secara terburu-buru tanpa strategi perlindungan, akan ada ancaman kehilangan pekerjaan massal.
Transisi bukan sekadar soal mengganti sumber energi. Yang lebih penting adalah memastikan keadilan sosial bagi jutaan buruh yang terdampak. Itu berarti, buruh yang posisinya rentan harus mendapatkan jaminan perlindungan sosial, akses pada pelatihan ulang, dan jalan menuju pekerjaan baru yang lebih layak.
Jakarta adalah salah satu episentrum industri di Indonesia. Dari pabrik otomotif, elektronik, tekstil, makanan dan minuman, hingga transportasi dan logistik, buruh di Jakarta menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Namun, sektor-sektor ini juga sangat terhubung dengan rantai energi dan teknologi yang sedang berubah. Pabrik otomotif misalnya, menghadapi gelombang peralihan menuju kendaraan listrik. Buruh transportasi terancam dengan digitalisasi dan otomatisasi. Industri tekstil dan garmen dituntut mengurangi emisi karbon, yang bisa memicu relokasi atau pengurangan kapasitas produksi.
Jika transisi ini hanya dipandang dari sudut pandang modal dan investasi, maka buruh Jakarta hanya akan menjadi angka statistik PHK. Padahal mereka adalah manusia yang sudah puluhan tahun membangun industri kota ini.
KSPI memperingatkan bahwa kebijakan hijau yang tidak berpihak pada buruh bisa menjadi bentuk ketimpangan baru. Alih-alih memperbaiki kualitas hidup, transisi justru bisa menciptakan lapisan pengangguran baru, terutama di perkotaan padat seperti Jakarta.
Sektor informal yang menopang kehidupan ribuan keluarga buruh di sekitar kawasan industri juga berisiko ikut terhantam. Pedagang kecil, sopir angkutan, pekerja jasa, hingga UMKM yang hidup dari denyut industri manufaktur bisa ikut kehilangan sumber penghasilan.
Karena itu, KSPI menegaskan bahwa suara buruh harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Transisi energi tidak boleh diputuskan hanya oleh pemerintah dan pengusaha, sementara buruh sekadar menjadi objek. Serikat pekerja harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan transisi.
Dalam forum ini, KSPI mendorong beberapa agenda penting: (1) Perlindungan sosial menyeluruh bagi buruh yang kehilangan pekerjaan akibat restrukturisasi industri. (2) Program pelatihan ulang (reskilling dan upskilling) agar buruh dapat masuk ke lapangan kerja baru yang berbasis energi bersih dan industri hijau. (3) Cipta lapangan kerja alternatif di sektor energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, serta manufaktur ramah lingkungan. (4) Keterlibatan serikat pekerja dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan transisi.
Transisi energi adalah keniscayaan. Namun, keadilan sosial tidak boleh dikorbankan atas nama keberlanjutan. Buruh di Jakarta, sebagai denyut utama industri nasional, berhak atas perlindungan, kepastian, dan masa depan yang lebih baik.
Transisi energi harus adil. Tidak boleh ada satu pun buruh yang ditinggalkan. Buruh adalah bagian dari solusi, bukan korban dari perubahan.