Korupsi Kejahatan Kemanusiaan

Korupsi Kejahatan Kemanusiaan

Penulis : Roni Febrianto, ST, M Fil
 Wakil Presiden Jaminan Sosial DPP FSPMI, Periode 2021-2026; Deputy Riset-Pengembangan Partai Buruh, Periode 2022- 2027

  1. Jejak Korupsi di Indonesia

Teori mengenai genealogi korupsi di Kepulauan Nusantara memang beragam. Versi paling populer adalah Kamar Dagang Hindia Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang. Ada sindiran  yang menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi). Menurut sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf. Kelompok petugas pajak yang disebut mangila disebut dalam prasasti awal abad ke-9 pada tahun 741 Caka atau 819 Masehi dalam buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo. Sejarawan Onghokham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong juga menyoal petani yang sering menjadi sasaran penyelewengan para petugas pajak.

Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 %  hasil panennya dan diduga juga hanya 20 % yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 % hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten. Ironi lainnya adalah semasa penjajahan. Sejarawan Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni mengatakan, ketika kelompok oposisi dan nasionalis Syarikat Islam (SI) pecah menjadi SI dan SI Merah yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia, terjadi saling tuding korupsi. Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, menceritakan, salah satu teori genealogi korupsi Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer fasis Jepang. Beliua mengutip sejarawan National University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim kekuasaan Jepang yang militeristik mempekerjakan aparatur lokal yang berkemampuan rendah dan serakah. Akibatnya, korupsi, pasar gelap, dan pelbagai penyimpangan terjadi secara marak meski jika ketahuan akan dihukum keras pihak Jepang. Akhirnya mereka dan sistem yang sudah rusak itu turut berkuasa pada era Republik Indonesia pasca 1945.

Korupsi Orde Lama Sejak Indonesia merdeka, pasca 1945, korupsi juga telah mengguncang sejumlah partai politik. Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, skandal korupsi menimpa politisi senior PNI, Iskaq Tjokrohadisurjo, yang adalah mantan Menteri Perekonomian di Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kasus tersebut bergulir 14 April 1958. Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh bukti cukup untuk menyeretnya ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang, kereta, dan mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden Soekarno. Namun, mobil Mercedes Benz 300 yang diimpornya dari Eropa tetap disita untuk negara. Kasus lain adalah Menteri Kehakiman Mr Djody Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) yang tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong, Bong Kim Tjhong, yang memperoleh kemudahan memperpanjang visa dari Menteri Kehakiman. Visa tersebut ternyata dibayar dengan imbalan Rp 20.000. Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro menduga uang pemberian pengurusan visa tersebut digunakan untuk membiayai Partai Rakyat Nasional pimpinan Djody. Partai besar lain, yakni Masyumi, juga terseret korupsi. Pada 28 Maret 1957, politisi Masyumi, Jusuf Wibisono, ditahan tentara di Hotel Talagasari, Jalan Setiabudi, Bandung, karena diduga terlibat korupsi. Bonnie Triyana mengutip harian Suluh Indonesia, 20 April 1957, menceritakan, Hotel Talagasari dipenuhi tersangka korupsi. Terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Yang diperiksa mencapai 60 orang. Periode 1950-1965 tersebut memang dipenuhi gonjang-ganjing korupsi dan pemberontakan. Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi korup pada zaman itu bisa dibaca jelas dalam novel Senja di Jakarta karya wartawan senior Mochtar Lubis. [1]

 

  1. Korupsi, Lembaga Anti Korupsi dan Dampaknya.

Korupsi dapat dipahami sebagai sebuah praktek penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang yang dimiliki untuk mendapat suatu manfaat dari tindakannya melalui cara-cara yang melanggar hukum. Praktek korupsi tidak hanya bisa dilakukan secara individu namun juga bisa dilakukan secara berkelompok dan sering kali tergantung seberapa besar suatu hal yang dikenai praktek korupsi. Kata korupsi pastilah sering didengar oleh masyarakat dan kita sendiri sebagai rakyat sekaligus individu yang tinggal di Indonesia. Dengan familiarnya kita terhadap fenomena korupsi, maka tidak salah jika sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa korupsi sejatinya telah menjadi budaya di Indonesia. Berbicara mengenai korupsi maka tidak lepas juga menyangkut perihal kekuasaan, dimana Lord Acton berpendapat “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” atau jika diterjemahkan kekuasaan cenderung memberi kesempatan untuk korup, dan jika kekuasaan berlaku mutlak maka korupsi juga akan berlaku mutlak disana.[2]
Telah banyak upaya untuk melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan bahkan sejak zaman kolonial.  Soeharto segera melakukan sejumlah upaya melawan korupsi. Soeharto pada 2 Desember 1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228–1967 dan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1960 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan Ketua Jaksa Agung Sugih Arto. Tim ini bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif dan represif. Berselang empat tahun, dibentuk Komisi Empat dengan Keppres Nomor 12 tanggal 31 Januari 1970 dengan anggota Wilopo, SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono (perwira intelijen militer didikan Barat). Selanjutnya ada Komite Anti Korupsi pada tahun 1970 yang menghimpun aktivis angkatan 1966 guna memberikan dukungan moril kepada pemerintah dan tokoh-tokoh nasional untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela. Waktu itu, pemerintahan Soeharto baru berusia empat tahun! Pada tahun 1977 dibentuk Operasi Tertib (Opstib) dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1977 dengan koordinator Menpan dan pelaksana operasional Pangkopkamtib. Langkah terakhir Orde Baru memberantas korupsi adalah Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982. Hendri F Isnaeni menilai, lima lembaga anti korupsi Orde Baru jauh dari maksimal. ”Seolah-olah ada perhatian pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Kenyataannya, tim itu hanya bekerja untuk memberikan masukan kepada penguasa soal pemberantasan korupsi. Salah satunya Tim Empat yang dipimpin mantan Perdana Menteri Wilopo.             Indonesia memiliki dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi pedoman dan landasan dalam pencegahan dan penindakan. Salah satunya menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk menjadi penggawa pemberantasan korupsi di tanah air. Dasar-dasar hukum ini adalah bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi. Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-undang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini penindakan kasus korupsi. Menyadari tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah juga mengajak peran serta masyarakat untuk mendeteksi dan melaporkan tindak pidana korupsi. [3]Berikut adalah dasar-dasar hukum pe mberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. UU No. 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi. Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu perbuatan merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi di masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya, undang-undang antikorupsi bermunculan dengan berbagai macam perbaikan di sana-sini. UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  1. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN

Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya. Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi. TAP MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik

  1. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara. Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman.

  1. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang di atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air. UU ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.

  1. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat juga didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas korupsi. Hak-hak masyarakat tersebut dilindungi dan ditindaklanjuti dalam penyelidikan perkara oleh penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat juga akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah yang juga diatur dalam PP ini.

 

  1. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 

Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya. Sesuai amanat UU tersebut, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK, kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi.

  1. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor menyembunyikan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diatur soal penanganan perkara dan pelaporan pencucian uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya pemberantasan korupsi. Dalam UU ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

  1. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)

Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi. Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan. Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu Perizinan dan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.

  1. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

  1. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi

Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi. Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana. Selain dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di unit kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk Pusat Kajian dan Pusat Studi. Kegiatan pengajaran PAK ini harus dilaporkan secara berkala ke Kementerian melalui Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.  Saat ini pemerintahan Joko Widodo memiliki banyak instrumen pemberantasan korupsi, seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembenahan personalia lembaga-lembaga strategis tersebut, serta sinergi antar lembaga serta tugas supervisi dan pencegahan korupsi, harus dikedepankan agar bisa memutus warisan korupsi sistemik yang menggurita.

Kita telah mengetahui korupsi selalu membawa dampak  negatif yang berkepanjangan dan akan  selalu membuat kerugian negara kian hari makin bertambah, diantara dampak yang paling terlihat pertumbuhan ekonomi yang pada sebuah negara melambat.Tingkat investasi yang menurun dan berdampak pada naiknya tingkat kemiskinan. Dampak lanjutannya arus distribusi pada pendapatan mengalami ketimpangan yang makin jauh. Dari beberapa pernyataan di atas mengindikasikan bahwa dampak yang dibawa dalam bidang ekonomi saja tidaklah kecil, sehingga kita perlu keseriusan dalam menangani perkara ini, karena jika ekonomi terdampak maka sektor yang lain pasti juga mengalami hal yang sama. Dalam perkara penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong lemah, sementara kasus korupsi yang ada jumlahnya besar. Pemerintah kehilangan kekuatan melawan koruptor, dengan bukti beberapa kasus yang tidak selesai dan hukuman belum memberi efek jera, dan fakta banyaknya korupsi yang masih terjadi. Korupsi dianggap sebuah kejahatan luar biasa karena memiliki dampak yang masif dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak hanya merugikan negara, korupsi menyengsarakan rakyat di dalamnya. Berbagai dampak korupsi di berbagai bidang bisa dirasakan sendiri oleh kita semua. Cerminan dampak korupsi bisa dilihat dari mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, masyarakat yang semakin miskin, atau terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Perkembangan ekonomi mandek dan berbagai rencana pembangunan terhambat akibat korupsi. Belum lagi dari sisi budaya, korupsi semakin menggerus kearifan lokal dan menggantinya dengan tabiat yang buruk. Semangat melawan korupsi akan semakin kuat jika kita memahami dampak-dampak tersebut. Berikut adalah dampak-dampak korupsi di berbagai bidang,[4] agar bisa kita kenali dan cegah:

  1. Dampak Korupsi di Bidang Ekonomi

Korupsi berdampak buruk pada perekonomian sebuah negara. Salah satunya pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat dari multiplier effect rendahnya tingkat investasi. Hal ini terjadi akibat investor enggan masuk ke negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Ada banyak caraorang untuk tahu tingkat korupsi sebuah negara, salah satunya lewat Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Korupsi juga menambah beban dalan transaksi ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk. Adanya suap dan pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi,menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian.Melambatnya perekonomian membuat kesenjangan sosial semakin lebar. Orang kaya dengan kekuasaan, mampu melakukan suap, akan semakin kaya. Sementara orang miskin akan semakin terpuruk dalam kemelaratan. Tindakan korupsi juga mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor, akibatnya uang pembelanjaan pemerintah menjadi lebih sedikit. Ujung-ujungnya rakyat miskin tidak akan mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan yang baik, atau fasilitas kesehatan yang mencukupi.

  1. Dampak Korupsi di Bidang Kesehatan

Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, korupsi di bidang kesehatan akan semakin terasa dampaknya. Korupsi proyek dan anggaran kesehatan kerap terjadi di antara pejabat pemerintah, bahkan menteri. Sudah dua mantan dua mantan menteri kesehatan Indonesia yang ditahan karena korupsi, yaitu Achmad Suyudi dan Siti Fadilah Supari. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi jadi biang keladi buruknya pelayanan kesehatan, dua masalah utama adalah peralatan yang tidak memadai dan kekurangan obat. Korupsi juga membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dampak dari korupsi bidang kesehatan adalah secara langsung mengancam nyawa masyarakat. ICW mencatat, pengadaan alat kesehatan dan obat merupakan dua sektor paling rawan korupsi.  Perangkat medis yang dibeli dalam proses korupsi berkualitas buruk, pelayanan purnajualnya juga jelek, serta tidak presisi. Begitu juga dengan obat yang pembeliannya mengandung unsur korupsi, pasti keampuhannya dipertanyakan.

  1. Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan

Salah satu sektor yang paling banyak dikorupsi adalah pembangunan dan infrastruktur. Salah satu modus korupsi di sektor ini, menurut Studi World Bank, adalah mark up yang sangat tinggi mencapai 40 persen. KPK mencatat, dalam sebuah kasus korupsi infrastruktur, dari nilai kontrak 100 persen, ternyata nilai riil infrastruktur hanya tinggal 50 persen, karena sisanya dibagi-bagi dalam proyek bancakan para koruptor. Dampak dari korupsi ini tentu saja kualitas bangunan yang buruk sehingga dapat mengancam keselamatan publik. Proyek infrastruktur yang sarat korupsi juga tidak akan bertahan lama, cepat rusak, sehingga harus dibuka proyek baru yang sama untuk dikorupsi lagi. KPK mencatat, korupsi di sektor ini terjadi dari tahapan perencanaan, proses pengadaan, hingga pelaksanaan. Di tahap perencanaan, koruptor sudah mencari celah terkait kepastian anggaran, fee proyek, atau cara mengatur pemenang tender. Pada pelaksanaan, terjadi manipulasi laporan pekerjaan atau pekerjaan fiktif, menggerogoti uang negara.

  1. Korupsi Meningkatkan Kemiskinan

Kemiskinan berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik dibagi empat kategori, yaitu:

  1. Kemiskinan absolut

Warga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak.

  1. Kemiskinan relatif

Merupakan kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan yang dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan relatif ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat.

  • Kemiskinan kultural

Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau budaya yang membelenggu sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.

  1. Kemiskinan struktural

Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem yang tidak adil sehingga mereka tetap terjebak dalam kemiskinan. Korupsi yang berdampak pada perekonomian menyumbang banyak untuk meningkatnya kemiskinan masyarakat di sebuah negara. Dampak korupsi melalui pertumbuhan ekonomi adalah kemiskinan absolut. Sementara dampak korupsi terhadap ketimpangan pendapatan memunculkan kemiskinan relatif. Alur korupsi yang terus menerus akan semakin memunculkan kemiskinan masyarakat. Korupsi akan membuat masyarakat miskin semakin menderita, dengan mahalnya harga pelayanan publik dan kesehatan. Pendidikan yang buruk akibat korupsi juga tidak akan mampu membawa masyarakat miskin lepas dari jerat korupsi.

  1. Dampak Korupsi Terhadap Budaya 

Korupsi juga berdampak buruk terhadap budaya dan norma masyarakat. Ketika korupsi telah menjadi kebiasaan, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai hal lumrah dan bukan sesuatu yang berbahaya. Hal ini akan membuat korupsi mengakar di tengah masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya. Beberapa dampak korupsi terhadap budaya pernah diteliti oleh Fisman dan Miguel (2008), Barr dan Serra (2010). Hasil penelitian Fisman dan Miguel (2008) menunjukkan bahwa diplomat di New York dari negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung lebih banyak melakukan pelanggaran parkir dibanding diplomat dari negara dengan tingkat korupsi

rendah. Perilaku ini dianggap sebagai indikasi budaya. Sementara hasil penelitian Barr dan Serra (2010) menunjukkan bahwa data di Inggris memberikan hasil serupa yaitu adanya hubungan positif antara tingkat korupsi di negara asal dengan kecenderungan para imigran melakukan penyogokan. Ketika masyarakat permisif terhadap korupsi, maka semakin banyak individu yang melanggar norma antikorupsi atau melakukan korupsi dan semakin rendah rasa bersalah.

Korupsi bukan hanya kejahatan ekstraordinary, namun juga merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi. Perilaku korupsi yang dulu hanya memiliki dua bentuk kini telah bertambah menjadi tujuh cabang korupsi. Dari jumlah tersebut dibagi kembali menjadi 30 jenis dan rupa korupsi jadi korupsi adalah kejahatan kemanusiaan.[5] Terbanyak, korupsi yang menjerat para penyelenggara negara biasa berjenis penyuapan, pemerasan dan gratifikasi. Pada jenis penyuapan, para tersangka korupsi biasanya mengaku tidak merugikan negara, namun turut menerima sesuatu dari pihak yang bersangkutan. Suap adalah kesepakatan antara pemberi dan penerima, lalu perantara pemberi dan perantara penerima. Suap biasanya dilakukan lebih dari dua orang. Kemudian di korupsi jenis pemerasan, ia mencontohkan kepala daerah yang baru dilantik kemudian melakukan pemerasan kepada kepala dinas yang bukan berasal dari tim suksesnya.

Terakhir adalah korupsi jenis gratifikasi. Dalam kasus ini yang ditetapkan tersangka adalah penerima, bulan pemberi. Karena biasanya penerima pasti penyelenggara negara. Sedangkan pemberi sadar jika penerima adalah yang mempunyai kewenangan. Setiap tahapan bisa terjadi korupsi, dari perencanaan, pengesahan, pelaksanaan, bahkan di tahap akhir audit bisa terjadi korupsi. Dari empat siklus ini tidak ada yang bebas dari korupsi,

Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, korupsi di negeri ini tampak makin menjadi-jadi. Yang paling mutakhir adalah korupsi dalam tata kelola timah selama 2015-2022. Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus ini. Menurut hasil penghitungan ahli lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, dalam kasus ini negara mengalami kerugian fantastis: sekitar Rp 271 triliun.[6] Ini baru satu kasus di sektor pertambangan. Korupsi di sektor pertambangan, selain di sektor minerba (mineral dan batubara), adalah di antara yang paling banyak merugikan negara.

Sektor pembangunan dan infrastruktur juga banyak dikorupsi. Salah satu modus korupsi di sektor ini, menurut Studi World Bank, adalah mark up yang sangat tinggi. Bisa lebih dari 40 persen. KPK mencatat, dalam sebuah kasus korupsi infrastruktur, dari nilai kontrak 100 persen, ternyata nilai riil infrastruktur hanya tinggal 50 persen. Sisanya dibagi-bagi dalam proyek bancakan para koruptor. [7]

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada peningkatan kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2022. Menurut ICW juga, korupsi terjadi hampir di seluruh sektor pemerintahan, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.  Dari data korupsi di lingkungan pemerintah pusat bukanlah hal yang baru. Sepanjang periode 2004-2022 KPK sudah menangani sebanyak 430 kasus atau 31,82% dari total kasus 19 tahun terakhir.[8]

ICW pun memantau tren penindakan kasus korupsi BUMN sepanjang tahun 2016–2021. Jumlah kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka. Tercatat sedikitnya 9 kasus pada tahun 2016, 33 kasus pada 2017, 21 kasus pada 2018, 20 kasus pada tahun 2019, 27 kasus pada tahun 2020, dan 9 kasus pada 2021. Berdasarkan data yang dihimpun, 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN tersebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 47,9 triliun. Di sektor pendidikan, kasus korupsi juga banyak terjadi. Terdapat 240 korupsi pendidikan sepanjang Januari 2016 hingga September 2021.[9]

Dari sisi pelaku korupsi, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004-2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV (349 kasus). [10]Korupsi juga melibatkan para kepala daerah. Menurut KPK, jumlah tindak pidana korupsi oleh walikota/bupati naik menjadi 19 orang pada 2021 dari 10 orang pada tahun sebelumnya. Korupsi juga kini banyak dilakukan oleh kepala desa dan aparatnya. Menurut Indonesia Corruption Watch, sejak Pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat. Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa hanya sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Namun, enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.[11] Data yang dimiliki oleh KPK, terdapat 688 kepala desa atau aparat desa yang berstatus hukum dan kini ditangani oleh jaksa dan kepolisian. Kenapa mereka bisa terjerat, karena kepala desa sebelumnya tidak pernah diajari menyusun program dan kegiatan dan cara membuat pertanggungjawaban keuangan. Namun beruntung sekarang sudah ada.

Aktor/pelaku korupsi bahkan melibatkan para penegak hukum. Berdasarkan data KPK ada 34 koruptor yang merupakan aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi. Mereka adalah 21 orang hakim, 10 orang jaksa, dan 3 orang dari kepolisian . Yang lebih memprihatinkan, korupsi bahkan melibatkan pimpinan KPK. Ketua KPK, Firli Bahuri, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus pemerasan terhadap tersangka korupsi di Kementerian Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Di sisi lain sebanyak 78 orang pegawai KPK juga terlibat kasus pungli di rumah tahanan KPK. [12]

Skor IPK Indonesia pernah mencapai titik tertinggi, yakni 40 pada 2019. Akan tetapi, pada 2020 skor IPK Indonesia turun menjadi 37. Sempat naik lagi menjadi 38 pada 2021, tetapi kemudian IPK Indonesia anjlok menjadi 34 pada 2022. Sedangkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menurun sebesar 3,92. Skor itu menurun dibandingkan IPAK 2022 yang mencapai 3,93. Sejumlah anggota kabinet pada 2 periode masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tersangkut perkara korupsi. [13]

  1. Pada selasa (31/10/2023) KPK menetapkan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka dugaan pemerasan dan gratifikasi. Kader Partai Nasdem itu diduga memeras dan menerima gratifikasi dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen Kementan) Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Kementan Muhammad Hatta. KPK menjerat Syahrul, Hatta, dan Kasdi dengan tiga pasal yakni Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Johnny Gerard Plate) mengikuti sidang putusan kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4 dan 5 dari BAKTI Kemenkominfo tahun 2020 sampai 2022 di Pengadilan Tipikor pada Rabu (8/11/2023). Majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Johnny G Plate dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta pidana tambahan membayar uang pengganti Rp15,5 miliar. Dia terbukti menerima belasan miliar dari proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung tahap 1 sampai 5. Plate juga dibebani pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 15,5 miliar subsider dua tahun kurungan. Perbuatan kader Partai Nasdem itu terbukti korupsi seperti dalam rumusan dakwaan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Baca juga: 15 Tahun Penjara untuk Johnny G Plate 4.
  3. Idrus Marham Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2019). Politikus Partai Golkar Idrus Marham yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial di kabinet Jokowi terjerat kasus suap proyek PLTU Riau. Dia kemudian divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150.000.000,- subsider 2 bulan kurungan.
  4. Imam Nahrawi Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi terjerat korupsi suap hibah dana KONI. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kemudian divonis 7 tahun penjara serta denda Rp 400.000.000,- subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Imam juga divonis mengganti kerugian negara sebesar Rp 18,15 miliar, dan pencabutan hak pilih hingga 4 tahun.
  5. Edhy Prabowo terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 mantan Menteri Kelautan dan Perikanan terbukti menerima suap penerbitan izin budi daya dan ekspor benih lobster. Edhy yang saat itu menjadi politikus Partai Gerindra divonis 5 tahun penjara, denda Rp 400.000.000 subsider 6 bulan penjara, dan pencabutan hak pilih hingga 2 tahun. 7.
  6. Juliari Batubara Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara untuk terpidana kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 Harry Van Sidabukke, di gedung KPK, Jakarta, Senin (22/3/2021). Kasus korupsi menarik perhatian adalah perkara suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Jabodetabek, yang dilakukan Juliari Batubara. Politikus PDI Perjuangan yang sempat menjabat sebagai Menteri Sosial itu kemudian divonis 12 tahun penjara serta denda Rp 500.000.000 dan subsider 6 bulan kurungan. Divonis membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 14,5 miliar dalam satu bulan atau subsider 2 bulan penjara dan mencabutan hak pilih dan dipilih dalam jabatan publik hingga 4 tahun.

Kasus korupsi dengan nilai jumbo kembali mencoreng Indonesia. Setelah deretan kasus korupsi jumbo seperti PT Asabri dan Jiwasraya, publik dikagetkan dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah. Kejaksaan Agung (Kejagung) memperkirakan kerugian negara bisa sangat besar dalam dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) tahun 2015 – 2022.  Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi mengatakan pihaknya masih dalam proses penghitungan kerugian negara bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara kami masih dalam proses penghitungan. Formulasinya masih kami rumuskan dengan baik dan BPKP maupun dengan para ahli, ujar Kuntadi dalam Konferensi Pers di Jakarta, Rabu, (27/3/2024). Kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya. Sebelumnya, disebutkan bahwa kerugian ekologis, ekonomi dan pemulihan lingkungan dari korupsi tersebut dari hasil perhitungan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mencapai Rp271 triliun.[14] Perhitungan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014. Dalam kasus ini, nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis. Pertama, kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun. Ketiga, kerugian biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.  Kasus tersebut juga menjadi sorotan publik setelah sejumlah nama beken ikut menjadi tersangka dan ditahan Kejagung, termasuk di antaranya crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim dan suami dari pesohor RI Sandra Dewi, Harvey Moeis. Rentetan kasus ini bermula Kejagung menetapkan lima orang tersangka yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. tahun 2015 – 2022. Salah satunya adalah eks Dirketur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani. Kasus kemudian meluas hingga menyeret 16 tersangka termasuk Harvey Moeis yang juga mantan Mantan Presiden Komisaris perusahaan batu bara PT Multi Harapan Utama. Besarnya potensi kerugian negara dalam kasus timah membuat kasus tersebut menjadi kasus korupsi dengan potensi kerugian negara terbesar di Indonesia.

Sebelumnya  ada kasus dugaan korupsi yang membuat negara rugi triliunan.

  1. Kasus BLBI

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kasus korupsi lama yang terjadi saat Indonesia dihantam Krisis Moneter 1997. Pada tahun tersebut, puluhan bank tumbang karena lonjakan utang dan kurs yang ambruk. Untuk menolong perbankan, bank sentral Bank Indonesia kemudian mengguyur dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank agar mereka tidak kolaps.
Dana tersebut harus dikembalikan ke negara. Namun, obligor dan debitur banyak yang mengemplang dana BLBI dan tidak mengembalikan ke negara hingga 20 tahun berlalu.
Kasus tersebut kembali menjadi perhatian serius pemerintah setelah pada 2021, Presiden Joko Widodo membentuk satuan tugas (satgas) khusus BLBI untuk mengejar obligor.

Keterangan resmi Kementerian Keuangan menyebut BLBI merugikan negara Rp138,442 triliun dari Rp144,536 triliun BLBI yang disalurkan berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2000. Satgas BLBI sudah bekerja pada 2021 hingga masa tugas pada 31 Desember 2023.

  1. Kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit

Merujuk pada laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp4,9 triliun dan kerugian perekonomian negara sebanyak Rp99,2 triliun atau total Rp 104,1 triliun. Kasus ini melibatkan Grup Duta Palma yang tanpa izin menggarap lahan negara pada 2003-2022. Luas lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan vonis terhadap pelaku yang terlibat, termasuk Surya Darmadi, pemilik Grup Duta Palma. Dia divonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. Pelaku lainnya adalah Raja Thamsir Rachman, mantan Bupati Indragiri Hulu yang dihukum sembilan tahun penjara.

  1. Pengolahan kondensat ilegal di kilang minyak di Tuban, Jawa Timur

Kasus ini muncul karena penunjukan langsung penjualan minyak mentah (kondensat) bagian negara sejak 23 Mei 2009 hingga 2 Desember 2011. Kerugian negara dalam kasus ini menembus US$ 2,7 miliar atau setara Rp 35 triliun pada saat itu. Kasus ini melibatkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPP) dan menyeret mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno, mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Honggo Wendratno divonis 16 tahun penjara. Namun, hingga kini dia masih buron.

Rezim Orde Baru (1966-1998) adalah era yang diakhiri dengan tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjalar di pusat kekuasaan hingga di daerah. Soeharto bisa dikatakan sebagai Presiden Indonesia terkaya. Transparency International menyebut hartanya mencapai 15-35 milliar dollar AS. Ini terjadi berkat kesuksesan Soeharto membangun bisnis, baik di dalam atau luar negeri, selama 32 tahun berkuasa. Caranya, menurut Ross H. McLeod dalam Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption  (A Journal of Policy Analysis and Reform, 2000), adalah dengan membangun sistem terstruktur yang menguntungkan dirinya sendiri. Mulanya, Soeharto memperkerjakan para tentara, baik yang masih aktif atau tidak, dan menyediakan pekerjaan bagi kerabat dan pendukung dirinya di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan langkah ini, pengaruh Soeharto di sana semakin luas. Artinya, Soeharto dapat dengan mudah meminta mereka menjadi mesin pendulang uang. Selain itu, Soeharto pun banyak mendirikan bisnis. Bisnis pertamanya adalah PT Pilot Project Berdikari yang bergerak di sektor peternakan. Perusahaan ini jadi motor penggerak kekayaan Soeharto. Pendiriannya juga sejalan dengan keterbukaan jenderal ABRI ini terhadap pengusaha. Dia sangat menerima tiap pengusaha yang datang kepadanya. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah kedekatannya dengan Liem Sio Liong, pendiri Salim Group, dan Bob Hasan si raja hutan. Soeharto dan Liem adalah bentuk simbiosis mutualisme.[15] Presiden melindungi Liem untuk memastikan bisnisnya berjalan dengan baik. Liem juga mendapat perlakuan istimewa oleh Soeharto, tulis Richard Borsuk dan Nancy Chang dalam Liem Sio Liong’s and Salim Group (2016). Sebagai timbal balik Liem jelas memberi cuan kepada Soeharto. Menurut laporan Time (1999), mesin kekayaan Suharto lainnya adalah yayasan. Yayasan tersebut didirikan Soeharto dan dikelola oleh istrinya, Tien, dan keluarga dengan beragam nama. Tercatat ada puluhan yayasan di bidang amal, pendidikan, dan keagamaan. Yayasan tersebut dapat hidup karena adanya sumbangan. Sumbangan tersebut didapat dari negara juga. Pada tahun 1978, misalnya, pemerintah mewajibkan bank negara untuk memberikan 2,5% keuntungannya kepada yayasan Dharmais dan Supersemar, kedua yayasan milik Soeharto. Namun, tidak pernah ada catatan transparansi yang jelas atas penggunaan dana sumbangan itu. [Yayasan itu] seolah-olah sebagai amal, tetapi yayasan itu juga merupakan gana gelap raksasa untuk proyek investasi Soeharto dan kroni-kroninya, serta untuk mesin politik Soeharto itu sendiri,  ungkap laporan Time.

Belakangan, kegiatan bisnis juga dilakukan oleh putra-putri Soeharto. Nama besar bapaknya sebagai penguasa negeri memuluskan tiap langkah mereka. Tidak ada perusahaan yang berani menolak tawaran kerjasama. Kerajaan bisnis ini didukung oleh Soeharto. Satu yang fenomenal adalah keterkaitan bisnis anaknya, Tommy dan Bambang, di sektor perminyakan. Cerita bermula dari keputusan pemerintah untuk melakukan ekspor-impor sebagian minyak lewat Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, perusahaan milik Tommy dan Bambang. Perusahaan anaknya itu mematok 0,30 – 0,35 dollar AS per barel. Belakangan diketahui kalau sebetulnya Pertamina mampu melakukan ekspor-impor sendiri tanpa perusahaan keluarga Soeharto. Artinya, perusahaan itu memang sengaja ingin mencari untung sendiri dari bisnis minyak yang sedang trend kala itu. Tak cukup sampai disitu, keluarga Soeharto banyak menjalin kontrak usaha dengan Pertamina di sektor asuransi, keamanan, pasokan makanan, dan layanan lainnya. Perjalanan panjang Soeharto mengeruk kekayaan akhirnya harus dibayar mahal. Oleh Transparency International, dia dinobatkan sebagai presiden terkorup di dunia. Soeharto bertengger di pucuk daftar koruptor sedunia, di atas bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan bekas diktator Zaire Mobutu Sese Seko. Nilai korupsi keduanya terpaut cukup jauh dari Soeharto, tulis The Guardian (26 Maret 2004). Mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Muhammad Soeharto termasuk dalam jajaran pemimpin negara terkorup. Selama 32 tahun menjabat (1967-1998), Bapak Pembangunan itu diduga menggelapkan uang hingga US$15-35 miliar atau sekitar Rp231-539 triliun (kurs Rp15.400).[16]  Tuduhan korupsi ini kemudian dibantah oleh pihak keluarga Soeharto. Proses pengadilan pun tidak pernah dilakukan kepada Presiden kedua itu.

Faktor utama penyebab korupsi adalah nilai kebebasan dan hedonisme. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan dan hedonisme ini.  Setidaknya ada tiga faktor lain, yaitu: Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyarakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.[17] Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya,

 

 

 

  1. Langkah Percegahan dan Anti Korupsi

          Melihat jejak korupsi dan makin banyaknya pejabat publik dari tingkat nasional sampai daerah baik provinsi, kabupaten/kota sampai desa yang jadi tersangka kasus korupsi sebetulnya tingkat Korupsi sudah sangat kronis yang berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat tapi disisi lain angka kemiskinan makin meningkat karena kerakusan para pejabat publik yang diduga bermain-main dengan pengsaha rakus menghabiskan anggaran baik nasional ataupun daerah yang didapat dari pajak rakyat.

Ada beberapa upaya yang secara preventif  bisa dilakukan paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi.

  1. Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Praktek KKN disemua tingkatan baik nasional sampai desa-desa akan berpotensi menghasilkan koruptor.

Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab dan melayani rakyat yang sudah memberinya mandat atau Amanah jabatan. Lalu terkait profesionalitas dan integritas, jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.

  1. Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Bila ada apparat yang terlibat dugaan korupsi wajib dilakukan proses hukum yang transparan pada publik dan bisa memberikan efek jera. Selama ini hukuman terlalu ringan apa lagi dengan uang korupsi yang didapatnya bisa menyewa pengacara untuk membela pada proses di persidangan agar mendapat hukuman yang ringan dan harta yang didapat dari korupsi tetap bisa dinikmati karena tidak disita oleh negara.
  2. Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan. Dengan terpenuhinya kebutuhan yang layak maka diharapkan apparat dapat bekerja optimal dalam melayani rakyat.
  3. Keempat: Melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb) hukumnya haram.
  4. Kelima: Islam memerintahkan menghitung kekayaan bagi apparat negara diawal dan diakhir jabatannya. Semua harta yang didapat wajib dilaporkan secara terbuka pada publik dalam bentuk laporan harta kekayaan tahunan dan wajib ada sanksi tegas bila ada pejabat yang tidak melaporkannya karena diduga ada indikasi korupsi. Institusi penegak hukum baik KPK, Kejaksaan dan Kepolisian bisa bekerjasama dengan PPATK untuk meminta penjelasan asal-usulnya harta yang didapat. Bila mencurikan harta bisa disita oleh negara.
  5. Keenam: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Gerakan moral dari masyarakat dan tokoh baik agama maupun masyarakat akan jadi sangat penting untuk mengontrol para pejabat negara agar bisa terhindar dari tindak pidana korupsi.

Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Hukuman untuk koruptor bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran sampai sanksi pidana badan sampai sita harta kekayaan dan yang tidak kalah penting sanksi sosial dari masyarakat agar ada efek jera bagai para pelaku korupsi khususnya para pejabat publik dan aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Patut dipertimbangkan sanksi yang paling tegas sampai hukuman mati. Korupsi diawali dari keserakahan sehingga pesan moral dari Mahatman Gandi yang terkenal, bumi akan cukup untuk tujuh generasi, namun tiadak akan cukup untuk tujuh orang serakah, bisa selalu jadi pengingat bagi para pejabat publik dan aparat penegak hukum untuk tidak bertindak korupsi yang akhirnya akan menyebabkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan, Karenanya kita harus sadar untuk melawan Korupsi yang merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan.

 

 

[1] https://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi.dari.Kerajaan.Nusantara.hingga.Reformasi?page=all

[2] https://politik.fisip.unair.ac.id/perjalanan-pemberantasan-korupsi-di-setiap-era-kepresidenan-indonesia/

 

[3]https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia

 

[4] https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220520-kenali-bahayanya-dampak-korupsi-di-berbagai-bidang-ini

 

[5]https://www.infopublik.id/kategori/nasional-politik-hukum/776875/korupsi-sebagai-kejahatan-kemanusiaan

 

[6] https://nasional.kompas.com/read/2024/04/03/16432731/korupsi-rp-271-triliun-di-pt-timah-pakar-ppatk-ke-mana?page=all

[7] https://www.google.com/search?q=kpk.go.id+20%2F5%2F2024%29+korupsi+infrastruktur

[8]https://www.cnbcindonesia.com/research/20230406084830-128-427768/ada-1300-lebih-kasus-korupsi-daerah-mana-paling-korup

[9] https://antikorupsi.org/id/category/tren

[10] https://www.kpk.go.id/id/

[11] https://www.kpk.go.id/id/

[12] https://www.bbc.com/indonesia

[13]  https://nasional.kompas.com/read/2023/11/10/09375961/daftar-anggota-kabinet-jokowi-yang-terjerat-korupsi-6-menteri-dan-1-wakil?page=all

[14] https://www.cnbcindonesia.com/research/20240329091021-128-526547/10-skandal-korupsi-terbesar-kasus-timah-harvey-moeis-helena-lim-no1

 

 

[15] https://www.cnbcindonesia.com/market/20221230095411-17-401423/cara-soeharto-jadi-presiden-terkaya-cap-terkorup-di-dunia

 

 

[16] https://bisnis.tempo.co/read/1778626/10-presiden-paling-korup-sepanjang-masa-ada-mantan-presiden-ri

[17] https://www.facebook.com/buletinkaffahid