Jakarta, KPonline – Ribuan buruh dari berbagai federasi, diantaranya Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memadati Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis, (30/10/2025).
Konsolidasi akbar gerakan buruh tersebut pun membuat arena megah itu berubah menjadi lautan bendera dan suara lantang yang menggema, menegaskan tekad kaum pekerja untuk terus memperjuangkan hak dan martabatnya di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional.
Presiden KSPI yang juga Ketua Partai Buruh, Said Iqbal, membuka orasinya dengan seruan khas perjuangan:
“Kau kawan, kau kawan anggota! Garda Metal, Laskar SPN, Kopaskep dan satgas-satgas federasi lainnya… saya bertanya kepada teman-teman semua, siap berjuang?”
“Siap!” balas ribuan buruh yang memenuhi ruangan.
“Yang mau berjuang angkat tangan! Yang mau berjuang tepuk tangan! Yang mau berjuang, teriak: Hidup rakyat! Hidup buruh yang melawan!”
Kemudian, Iqbal menyampaikan sikap resmi KSPI dan Partai Buruh yang memberikan dukungan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, namun tetap dengan pendekatan kritis.
Menurutnya, sejumlah kebijakan pemerintah patut diapresiasi, terutama program pembebasan utang UMKM, pembangunan dan penguatan koperasi desa untuk mendorong perputaran ekonomi di daerah, hingga program pengentasan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem melalui pendidikan berkualitas.
“Anak-anak miskin, the lowest of the low… mereka diselamatkan oleh negara. Mereka disekolahkan, diberi gizi, diberi masa depan. Kelak mereka bisa belajar di Sorbonne, MIT, Harvard. Ini quantum lift untuk rakyat kecil,” tutur Iqbal, menyinggung pengalaman pribadi soal perjuangan keluarga menghadapi kemiskinan.
Namun, dukungan tersebut tidak berarti tanpa kritik. Iqbal menegaskan bahwa buruh tetap harus bersuara tegas ketika kebijakan pemerintah atau pejabat negara tidak berpihak kepada rakyat pekerja.
“Kekuasaan pasti ada batasnya. Tidak boleh merampas hak orang lain untuk memperjuangkan hak-haknya.”
Said Iqbal juga menyoroti formula penetapan upah minimum yang dinilai tidak sesuai dengan komitmen Presiden.
Menurutnya, dalam periode sebelumnya Presiden menetapkan indeks tertentu 0,9, namun regulasi baru justru menurunkannya menjadi 0,2 – 0,7, yang berpotensi menekan kenaikan upah buruh tahun mendatang.
“Masa indeks yang sudah diberikan Presiden diturunkan? Ini menurunkan keputusan Presiden!, Lawan, Lawan!,” serunya.
Ia menegaskan bahwa buruh tidak akan tinggal diam bila kebijakan merugikan rakyat pekerja diambil tanpa dialog dan kajian berpihak.
Konsolidasi ini menjadi sinyal bahwa gerakan buruh akan terus berada di garis terdepan, baik dalam mendukung program kerakyatan maupun mengkritisi kebijakan yang dianggap menyimpang dari janji pemerintah.
Bagi Iqbal, keberpihakan kepada rakyat pekerja bukan sekadar retorika politik, melainkan prinsip yang harus dijalankan dengan konsistensi dan keberanian.
“Jangan dengarkan orang yang hanya muncul sebagai penunggang kekuasaan. Kita akan terus berjuang. Cukup! Enough is enough!”
Gerakan buruh masih menjadi poros moral dalam demokrasi Indonesia—penjaga keadilan sosial, sekaligus pengingat bahwa kesejahteraan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan kolektif.