Purwakarta, KPonline – Menjelang penetapan upah minimum 2026, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap merajut strategi perjuangan, yaitu menyatukan unsur konsep, lobi, dan aksi yang kerap disingkat KLA. Dan itu menjadi sebuah rangkaian kampanye terpadu untuk menekan angka kenaikan upah di kisaran 8,5-10,5 persen. Model ini bukan hanya retorika; itu adalah praktik taktis yang berakar dari pengalaman federasi dalam advokasi, dialog politik, dan mobilisasi massa.
Ide dasarnya sederhana namun kuat. Mulai dari konsep (penghitungan berbasis komponen kebutuhan hidup layak/KHL, inflasi, dan proyeksi ekonomi), dilanjutkan dengan lobi (dialog formal dengan pemerintah daerah, Dewan Pengupahan, dan DPRD), lalu diakhiri dengan aksi (unjuk rasa, konsolidasi nasional, hingga ancaman mogok kerja) bila tuntutan tidak diindahkan.
Di lapangan, tuntutan 8,5 – 10,5 persen muncul dari survei komponen KHL dan perhitungan lokal. Misalnya, aksi FSPMI di Makassar belum lama ini menyertakan survei 62 komponen kebutuhan sehari-hari yang, menurut pimpinan daerah, menghasilkan rekomendasi kenaikan antara 8,5 sampai 10,5 persen untuk UMK 2026. Aspirasi ini diterima dan dikaji oleh Wali Kota Makassar, menandai titik temu antara lobi dan respons pemerintah daerah.
Sinyal serupa terdengar di beberapa daerah lain seperti Konsulat Cabang (KC) FSPMI Batam dan beberapa cabang provinsi lainnya juga mengusulkan angka yang sejalan, yakni 8,5-10,5 persen, dengan referensi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan perlunya mempertimbangkan KHL dalam penetapan upah.
Dan dengan pola ini, tuntutan bukan hanya angka politis menurut serikat. Melainkan klaim yang berakar pada metodologi yang bisa benar-benar dipertanggungjawabkan.
Tak berhenti disitu, strategi KLA juga memuat sisi tekanan bila ruang lobi dianggap tertutup atau dialog berjalan lambat, FSPMI dan afiliasinya tak segan mengerahkan aksi massa hingga mengancam mogok nasional.
Pernyataan-pernyataan publik pada konsolidasi aksi KSPI beberapa waktu lalu dan peringatan tentang demonstrasi atau mogok besar/ mogok nasional dimaksudkan sebagai sinyal bahwa opsi politik jalanan tetap menjadi bagian dari repertori perjuangan. Ancaman ini, ketika diimbangi data dan komunikasi lobi, bertujuan memaksa percepatan kajian dan keputusan di tingkat provinsi maupun pusat.
Bagi pemerintah daerah dan pengusaha, konvergensi lobi dan aksi ini menimbulkan tantangan ganda karena mereka harus menyiapkan respons teknis (mengkaji hasil survei KHL, menyesuaikan proyeksi anggaran, berdialog dengan serikat) sekaligus memikirkan konsekuensi sosial-politik bila menolak tuntutan secara tegas.
Dari perspektif buruh, menyatukan KLA membantu memperkecil kesenjangan antara aspirasi di jalan dan hasil di meja keputusan. Konsep yang kuat memberi legitimasi; lobi membuka jalur pengambilan keputusan; aksi menjaga momentum dan memberi bobot politik. Tapi risiko juga nyata—eskalasi aksi bisa memecah dialog, dan tekanan ekonomi nasional bisa menenggelamkan tuntutan jika situasi makro memburuk. Untuk itu, FSPMI menekankan pentingnya kalkulasi yang berbasis data dan komunikasi berlapis: publik, media, dan lobi politik.
Apa arti semua ini untuk upah minimum 2026? Jika strategi KLA berjalan efektif, dimana data KHL dihitung secara rapi, lobi berjalan simultan di sejumlah provinsi, peluang untuk mencapai kisaran 8,5 hingga 10,5 persen bisa menjadi nyata. Tetapi jika gagal dan kondisi ekonomi memaksa pengetatan, konflik bisa bergeser dari negosiasi menuju sengketa industrial yang lebih panjang. Observasi terhadap respons kepala daerah seperti di Makassar dan pernyataan pimpinan serikat di berbagai daerah akan menjadi indikator paling awal.
Menimbang efektivitas KLA, gerakan buruh FSPMI tampak berusaha menegaskan bahwa perubahan kenaikan upah yang layak butuh lebih dari sekedar orasi. Butuh konsep yang kredibel, lobi yang cermat, dan aksi yang tetap berada dalam batas strategis. Tahun 2026 kemungkinan menjadi arena uji antara kalkulasi ekonomi, politik lokal, dan tekanan sosial.
Dan kembali lagi kini pertanyaannya, apakah angka 8,5-10,5 persen akan menjadi nilai persentase kenaikan upah 2026, ataukah hanya kemenangan simbolis di beberapa titik?