Morowali, KPonline – Di sebuah bekas jetty yang kini disulap menjadi tempat healing kelas buruh, Simposium Rasa Kasuami digelar dengan suasana yang unik dan santai. Gazebo yang rapi, angin laut yang sejuk, dan pemandangan indah menjadi latar belakang diskusi yang serius tentang isu-isu buruh anggota PUK SPL FSPMI PT. TSI pada Senin, 21 Juli 2025.
Simposium ini dihadiri oleh pekerja yang membawa pikiran berat, namun tetap tersenyum karena sudah terbiasa menghidupkan harapan di tengah tekanan. Diskusi mengalir tentang upah yang menguap, status kerja yang “fleksibel” (alias tak tentu arah), dan aturan-aturan yang kadang berubah lebih cepat dari shift kerja.
Tiba-tiba, datanglah penyegar suasana, kasuami makanan khas Buton yang sederhana tapi mengenyangkan. Terbuat dari ubi parut, dikukus, lalu disajikan hangat. Satu suapan cukup untuk membuat peserta simposium sadar bahwa perjuangan memang seperti kasuami – kadang keras, kadang hambar, tapi selalu berasal dari tanah sendiri.
“Ini simposium rasa tradisional. Kasuami dulu, revolusi nanti,” kata salah satu peserta, memicu tawa di antara peserta lainnya. Tawa ini bukan karena lucu, tapi karena peserta tahu bahwa seringkali perjuangan harus dibungkus guyonan agar tidak terasa terlalu pahit.
Simposium ini menjadi ruang demokrasi yang santai tapi tajam, di mana peserta dapat merancang perlawanan yang sopan dan efektif. Dengan demikian, Simposium Rasa Kasuami menjadi contoh bagaimana buruh dapat menyampaikan aspirasi mereka dengan cara yang unik dan efektif.
Penulis : Aswin Masirete
Editor : Yanto