Kemerdekaan, Hukum, Hingga Kesenjangan Kehidupan Di Perkebunan

Kemerdekaan, Hukum, Hingga Kesenjangan Kehidupan Di Perkebunan

Labuhanbatu,KPonline – “Kemerdekaan, Hukum, dan Kesenjangan Kehidupan Di Perkebunan”

Oleh : Anto Bangun
Sekretaris KC FSPMI Labuhan Batu.

Hampir Tujuhpuluh enam Tahun sudah Negeri ini merdeka lepas dari rantai belenggu penjajahan Kolonial Belanda, rezimpun sudah berkali ganti, dari ordelama ke rezim diktator tangan besi ordebaru hingga ke reformasi,demikian juga dengan regulasi tentang ketenagakerjaan entah sudah beberapa kali dikotak- katik oleh penguasa bersama sohibnya si pengusaha hingga sekarang bernama cipta kerja.

Tetapi bagi sebagian Buruh perkebunan kemerdekaan itu masih terasa abstrak dan semu, kalau dahulu dijajah oleh tuan kompeni berkulit putih berambut pirang, mungkin hari ini dijajah oleh tuan kompeni berkulit kuning langsat berambut hitam.

“Penjajah itu rupanya belum hengkang dari negeriku, ia hanya berganti kulit dan warna rambut saja, kata beberapa Buruh yang cerdas pemikirannya dan yang sehat akalnya”

Kemarin hari minggu masih terlihat dibawah rimbun pohon -pohon Karet dan Kelapa sawit, juga diantara deru mesin pabrik pengolahan Karet dan Kelapa Sawit, Sebagian Buruh-buruh itu dengan penuh kedisplinan bekerja, walaupun diantaranya ada yang sadar dan mengerti kalau upah yang dibayarkan tidak dihitung berdasarkan perhitungan upah kerja lembur dan dibayar dengan murah harus diterima, kemana mau mengadu, sebab organisasi serikat pekerja yang ada sudah berubah tujuannya, bukan lagi untuk membela dan melindungi anggota, tetapi sebagai sarana bisnis para pengurusnya dan wadah para pungsionarisnya untuk mendapatkan jabatan setrategis dan kenikmatan lain dari sang Tuan Kapitalis.

Mau mengadu ke Instansi ketenagakerjaan sama saja menjeratkan tali keleher untuk bunuh diri, sebab mereka bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari kapitalis perkebunan, lihat saja faktanya, walau dia melihat, mendengar berpuluh ribu penderes karet, pemanen kelapa sawit hubungan kerjanya berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan beribu perempuan Buruh Harian Lepas (BHL) upahnya dibayar murah, mereka tetap melakukan pembiaran, alasannya sederhana” Jumlah pegawai pengawas sangat terbatas dan biaya operasional tidak ada.

“Keberadaan mereka mungkin hanya sebagai syarat pelengkap struktur birokrasi”

Mau melapor ke Polisi sama saja, perkara bisa sampai tiga tahun lebih baru tuntas. Mengadu ke Wakil Rakyat percuma saja, karena wakil rakyat itu tidak ada, yang ada wakil partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat, itupun diucapkan saat pesta demokrasi, mereka wajib tunduk kepada aturan partai poltiknya, yang membangkang pasti di reshuffle.

Mau melawan perusahaan, ancaman mutasi berujung dipecat sudah menanti.
Kondisi berbeda dihari minggu kemarin terlihat disudut ruangan sebuah mall, para elit perusahaan sambil menikmati minuman dan makanan ringan asyk berbicara tentang rencana pembelian rumah mewah sambil melihat-lihat brosur.

Dipelataran lantai satu mall tempat terpajangnya mobil mewah ibu-ibu istri para elit perusahaan perkebunan terlihat serius berbicara dengan beberapa gadis cantik Sales Promotion Girl mobil ternama, samar-samar terdengar ibu istri elit perusahaan perkebunan itu menawar harga mobil itu.

Tiba-tiba salah satu Hp dari ibu elit perusahaan berdering kemudian ia mengangkatnya, terlihat percakapan serius, tak lama kemudian si Ibu tersebut berkata kepada ibu yang lain,

“Wah, aku harus beli mobil ini, anakku yang kuliah itu sudah ngambek kalau tidak dibelikan mobil dirinya akan berhenti kuliah”

Diperumahan perkebunan lain lagi ceritanya ibu-ibu para istri buruh berbicara tentang lauk pauk yang dimasak hari ini, ada yang mengatakan “hari ini terpaksa tumis kangkung dan tempe goreng sambal terasi saja”
Yang lain ada yang bilang ” Aku mau ramban genjer saja dirawa-rawa sana”
Ada yang mengeluh, “Aku nanti sajalah kedapur, mau cari pinjaman uang dulu ke bapak sianu rentenir itu, untuk biaya anak kuliah, disakunya tersimpan kartu ATM sebagai jaminan ke bapak rentenir”

Sementara di pelataran halaman pondok perumahan, terlihat anak-anak kecil lagy asyk dan gembira bermain mobil-mobilan dari kayu yang rodanya dari sandal jepit bekas, ada juga mobil-mobil dari plastik, mereka tidak tahu tentang kesusahaan orang tuanya, mereka tidak tahu kalau kemerdekaan itu masih terasa abstrak dan semu, mereka tidak tahu kalau hari minggu ini para Kapitalis masih menerapkan faham feodalisme warisan kolonialisme yang membodohi dan memperbudak Bapaknya, agar perusahaan dapat untung berlipat ganda, agar para elit perusahaan dapat membeli rumah mewah dan mobil mewah untuk kenderaan anaknya berangkat dan pulang kuliah.

Anak-anak kecil itu tidak pernah tahu bahwa 76 tahun Negerinya merdeka, hukum tidak pernah hadir tampil sebagai perisai bagi Buruh-Buruh perkebunan, mereka tidak pernah mengerti para elit-elit perusahaan perkebunan kebal hukum sehingga bebas berbuat, melakukan sesuka hatinya melakukan pelanggaran hukum.

Anak kecil yang manis dan lugu, semoga kelak ditanganmu kemerdekaan untuk buruh negeri ini bisa berwujud nyata tidak abstrak dan semu seperti saat ini.

Semoga kelak engkau mampu melakukan perubahan, menjadikan mobil-mobilan kayumu menjadi mobil yang sesungguhnya hasil karya ciptamu sendiri yang kau beri nama Mobil Indonesia, bukan mobil ciplakan hasil karya orang Negeri Seberang.

Semoga kelak engkau mampu mewujudkan cita-cita bapakmu menjadikan hukum sebagai perisai bagi Buruh-Buruh Perkebunan, agar terbebas dari sistem perbudakan modren, dan menjadikannya Tuan di Negerinya Sendiri.

Labuhanbatu Medio Juni 2021.