Bogor, KPonline, – Tiba-tiba, dunia jagad maya bergetar hebat, ribuan postingan aksi #cabutomnibuslaw berseliweran di setiap beranda media sosial. Bahkan, tanda pagar yang berhubungan dengan RUU Omnibus Law bergema ke seantero jagat raya. Rakyat turun ke jalan. Menuntut dicabutnya sebuah undang-undang sapu jagat, yang nantinya bisa menyengsarakan orang banyak. Tidak hanya kaum buruh, petani, dan nelayan, bahkan mahasiswa, pelajar dan warga masyarakat lainnya. Akan tetapi, juga akan berdampak negatif ke semua lini sektor kehidupan sosial kemasyarakatan, dan sendi-sendi tatanan masyarakat.
5 Oktober 2020, merupakan waktu yang tak akan mungkin terlupakan bagi kaum buruh dan kaum pekerja lainnya. Karena disaat itu, ketukan palu pengesahan RUU Cipta Kerja begitu menyakitkan terdengar. Terburu-buru, tergesa-gesa, seakan-akan dipaksakan, dan tentu saja ada begitu banyak kepentingan, yang sedang dipertaruhkan oleh anggota dewan yang katanya terhormat. Padahal, sebuah aturan, sebuah kebijakan haruslah mampu menjadi pelindung bagi kaum yang lemah, bukan malah menambah melemahkan. Jika ada sebuah perundang-undangan yang merugikan suatu golongan, ada baiknya dibatalkan saja perundang-undangan tersebut.
6 Oktober 2020, sejak pagi sudah beratus-ratus buruh menyampaikan informasi melalui kanal media sosial yang mereka miliki. Mogok kerja secara serentak, dimulai Selasa pagi itu. Bus-bus jemputan buruh, sudah mulai menepi dan menurunkan seluruh penumpangnya. Ribuan motor sudah terparkir di bahu-bahu jalan protokol. Siap dipotong upah, siap mendapatkan sanksi, bahkan mereka pun sudah siap dengan ancaman PHK. Bahkan, ancaman itu diperparah dengan issue wabah virus Corona, yang entah mengapa, gaung hilang ditelan Undang-undang Cipta Kerja.
7 Oktober 2020, aksi-aksi menuntut dicabutnya RUU Cipta Kerja semakin massive terjadi. Bentrokan antara buruh, mahasiswa, pelajar dengan pihak aparat keamanan tak terelakan. Korban berjatuhan, sumpah serapah dikeluarkan. Caci maki terlontar, seakan-akan sosok Omnibus Law berada didepan mereka, untuk terus dihujam dan terkapar. Pergerakan terus menyebar, tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Gerakan mahasiswa dan pelajar pecah diseluruh negeri. Buruh-buruh pun keluar pabrik, menggelar berbagai aksi. Teatrikal, poster hingga memenuhi media sosial dengan berbagai postingan yang membuat gerah penguasa. Korban terus berjatuhan, tapi tidak menyurutkan perjuangan. Bahkan, api perjuangan terus menjalar, dan membakar semangat setiap dada orang-orang yang dirugikan oleh anggota dewan.
8 Oktober 2020, kemarahan rakyat semakin memuncak. Pergerakan bertambah massive, ketika buruh-buruh kembali keluar pabrik dan turun ke jalan. Menjemput kawan-kawan buruh yang tersandera kegalauan dan kebimbangan. Keluar pabrik dengan ancaman PHK, atau turun ke jalan dan menumbangkan kedzaliman. Mahasiswa dan “anak STM” kembali menjadi sasaran amukan pihak aparat keamanan. Pukulan dan tendangan, pentungan dan hardikan, merupakan pemandangan yang jarang diperlihatkan. Berdarah-darah dan penuh air mata, ketika rakyat meminta keadilan. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan keadaan pejabat yang bergelimang kemudahan. Karena nyawa taruhannya ketika rakyat meminta keadilan, tapi jika kalian menginginkan kemudahan, jadilah anggota dewan.
Api berkobar dimana-mana, karena perlawanan rakyat akan terus membara. Anggota dewan pun hanya senyum dan tertawa, karena kocek sudah tebal dan siap melanglang buana. Rakyat ditinggal dengan sandang yang compang-camping dan luka yang menganga. Anggota dewan memegang gelaa kristal, menyantap hidangan mewah di restoran ternama.
Wahai pemimpin gerakan, siapa pun Anda. Jangan biarkan api revolusi ini padam begitu saja. Jangan biarkan perjuangan ini sia-sia belaka. Jangan biarkan rakyat dikangkangi oligarki dan korupsi yang semakin merajalela. Kami buruh, kami mahasiswa, kami pelajar, kami petani, kami nelayan, kami warga biasa, dan kami bisa siapa saja. Hanya berharap, jangan biarkan perjuangan kami sia-sia belaka. (RDW)



